Ilustrasi. FOTO/Istock
Selaput
dara begitu diagungkan dilekatkan dengan konsep keperawanan
Apakah
perempuan masih dibilang perawan bila pernah masturbasi?
Di masyarakat tidak semua orang bisa memilah
informasi mana yang fakta dan mitos soal selaput dara dan keperawanan.Apa yang terbayangkan di
benak saat kata selaput dara muncul? Barangkali orang akan menjawabnya sebagai
keperawanan, dan selebihnya bisa bermacam-macam. Dini, 25 tahun, adalah
salah satu perempuan yang tak banyak paham soal “tanda” keperawanan pada saat
ia remaja dulu.
“Awalnya, saya pikir selaput dara itu bagian tubuh yang penting dijaga. Kalau
robek atau kenapa-kenapa, saya dulu khawatir hal ini akan memengaruhi tubuh
saya secara keseluruhan,” kata Dini.
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan Dini, dari obrolan ringan dengan
teman-teman maupun referensi bacaan, pandangannya bergeser. Ia yang semula
menganggap perempuan harus menjaga keutuhan selaput dara—bagaimanapun
caranya—perlahan meyakini bahwa glorifikasi yang dibuat masyarakat untuk
selaput dara begitu berlebihan.
Sebagian dokter masih tidak yakin dengan fungsi selaput dara sebenarnya. Mereka
berpikir, selaput dara tidak punya fungsi khusus atau signifikan dalam tubuh
perempuan. Ironisnya, saat dunia medis saja masih memperdebatkan soal fungsi
selaput dara, mitos-mitos seputar hal ini sudah dibangun dari generasi ke
generasi, diteruskan hingga kini dalam macam-macam kebudayaan.
Selaput dara begitu diagungkan karena dilekatkan dengan konsep keperawanan.
Namun, apakah keperawanan itu sendiri merupakan gagasan yang objektif?
Banyak peneliti sosial-humaniora yang menyatakan bahwa keperawanan merupakan
konstruksi dalam budaya patriarkis. Kesucian dan keberhargaan perempuan dinilai
dari keperawanannya. Padahal, perspektif mengenai batasan perawan atau tidak
sangat beragam.
Ada yang bilang, patokan perempuan perawan adalah keutuhan selaput dara. Bila
membran tipis ini robek atau saat berhubungan seks pertama kali dia tidak
berdarah, artinya dia sudah pernah bersetubuh dengan seseorang alias tak suci
lagi. Ini adalah kesalahan kaprah yang jamak diamini masyarakat.
Selaput dara bisa robek karena macam-macam aktivitas: berolahraga, menggunakan
tampon, atau kecelakaan. Seksolog pun telah menemukan beberapa kasus di mana
perempuan lahir tanpa selaput dara.
Jika keadaannya demikian, masih adilkah bila selaput dara dijadikan tolok ukur
keperawanan?
Kadang kala, robeknya selaput dara tidak disadari oleh si empunya. Jangan pikir
setiap kali selaput dara robek, perempuan pasti mengalami sakit atau tanda lain
yang menonjol di samping bercak darah. Bayangkan bila si perempuan sedang
menstruasi, lalu berolahraga dengan gerakan ekstrem. Bercak darah akibat
selaput dara yang robek bisa jadi membaur dengan darah menstruasinya.
Hal lain yang salah dipahami
banyak orang ialah bentuk dan ketebalan selaput dara tidak berubah seiring
waktu. Kenyataannya, saat perempuan beranjak remaja dan dewasa, selaput dara dapat menipis
dan celahnya membesar, tak serupa dengan yang dimilikinya semasa bayi.
Mitos berikutnya yang dihubungkan dengan keperawanan ialah pengalaman seks
pertama kali akan membuat perempuan sakit karena selaput daranya robek.
Sebenarnya, tak melulu perempuan merasa sakit ketika pertama kali berhubungan
seks. Kunci menghindari rasa tidak nyaman atau sakit saat bercinta ialah lubrikasi pada vagina perempuan.
Bila ia tidak menerima rangsangan yang cukup atau merasa sangat tegang, vagina
akan cenderung kering dan gesekan dari genitalia sang pasangan yang mampu
membikin nyeri.
Mitos lain, adalah soal selaput dara robek pada pengalaman pertama bercinta,
faktanya tidak semua selaput dara rusak dan menyebabkan perempuan berdarah saat
mengalami penetrasi. Ketebalan selaput dara tiap perempuan berbeda, ada yang
begitu fleksibel, ada pula yang gampang robek.
Ada pula yang menganggap vagina terasa lebih sempit saat mengalami penetrasi
karena selaput dara seorang perempuan belum robek. Meski hal ini tak sepenuhnya
salah, ada faktor lain yang juga memengaruhi vagina terasa lebih sempit. Ketika
bercinta, otot pelvis perempuan berkontraksi,
inilah yang dianggap melakukan penetrasi terhadap vagina perawan lebih membawa
kenikmatan. Padahal, bukan perawan atau tidaknya yang jadi perkara, tetapi bisa
karena faktor keberadaan kontraksi otot pelvis ini.
Kontraksi otot pelvis bisa pula diakibatkan kecemasan atau ketegangan
perempuan. Semakin perempuan tegang, maka kian mengencang otot pelvisnya.
Ada laki-laki yang justru menikmati hal ini, sementara di sisi perempuan, bukan
tidak mungkin dia tengah menahan nyeri karena masih cemas atau tidak siap
dengan penetrasi.
Pertanyaan lain yang sering timbul seputar keperawanan dan selaput dara ialah
apakah perempuan masih dibilang perawan bila pernah masturbasi? Pertanyaan ini
justru dapat mengundang cabangan pertanyaan lain. Masturbasi yang seperti apa?
Meraba klitoris hingga orgasme tanpa sedikit pun merusak selaput dara, apakah
masih perawan? Ada juga perempuan yang bisa mencapai klimaks hanya dengan
distimulasi di payudara atau titik-titik erotis lainnya yang berbeda-beda tiap
individu. Atau, bila hubungan badan dengan pasangan terjadi tanpa penetrasi,
bisa atau tidak bisakah ia tetap disebut perawan?Hal lain yang salah dipahami banyak orang ialah bentuk
dan ketebalan selaput dara tidak berubah seiring waktu. Kenyataannya, saat
perempuan beranjak remaja dan dewasa, selaput dara dapat menipis
dan celahnya membesar, tak serupa dengan yang dimilikinya semasa bayi.
Mitos berikutnya yang dihubungkan dengan keperawanan ialah pengalaman seks
pertama kali akan membuat perempuan sakit karena selaput daranya robek.
Sebenarnya, tak melulu perempuan merasa sakit ketika pertama kali berhubungan
seks. Kunci menghindari rasa tidak nyaman atau sakit saat bercinta ialah lubrikasi pada vagina perempuan.
Bila ia tidak menerima rangsangan yang cukup atau merasa sangat tegang, vagina
akan cenderung kering dan gesekan dari genitalia sang pasangan yang mampu
membikin nyeri.
Mitos lain, adalah soal selaput dara robek pada pengalaman pertama bercinta,
faktanya tidak semua selaput dara rusak dan menyebabkan perempuan berdarah saat
mengalami penetrasi. Ketebalan selaput dara tiap perempuan berbeda, ada yang
begitu fleksibel, ada pula yang gampang robek.
Ada pula yang menganggap vagina terasa lebih sempit saat mengalami penetrasi
karena selaput dara seorang perempuan belum robek. Meski hal ini tak sepenuhnya
salah, ada faktor lain yang juga memengaruhi vagina terasa lebih sempit. Ketika
bercinta, otot pelvis perempuan
berkontraksi, inilah yang dianggap melakukan penetrasi terhadap
vagina perawan lebih membawa kenikmatan. Padahal, bukan perawan atau tidaknya
yang jadi perkara, tetapi bisa karena faktor keberadaan kontraksi otot pelvis
ini.
Kontraksi otot pelvis bisa pula diakibatkan kecemasan atau ketegangan
perempuan. Semakin perempuan tegang, maka kian mengencang otot pelvisnya.
Ada laki-laki yang justru menikmati hal ini, sementara di sisi perempuan, bukan
tidak mungkin dia tengah menahan nyeri karena masih cemas atau tidak siap
dengan penetrasi.
Pertanyaan lain yang sering timbul seputar keperawanan dan selaput dara ialah
apakah perempuan masih dibilang perawan bila pernah masturbasi? Pertanyaan ini
justru dapat mengundang cabangan pertanyaan lain. Masturbasi yang seperti apa?
Meraba klitoris hingga orgasme tanpa sedikit pun merusak selaput dara, apakah
masih perawan? Ada juga perempuan yang bisa mencapai klimaks hanya dengan
distimulasi di payudara atau titik-titik erotis lainnya yang berbeda-beda tiap
individu. Atau, bila hubungan badan dengan pasangan terjadi tanpa penetrasi,
bisa atau tidak bisakah ia tetap disebut perawan? Batasan keperawanan masih
mengundang pro dan kontra, tetapi berbagai pemegang kuasa malah menggunakan
glorifikasi keperawanan dan selaput dara untuk mendiskriminasi perempuan. Ambil
contoh kasus Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, pada 2013
yang memberikan dukungan terhadap
rencana orang tua yang bermaksud untuk melakukan tes keperawanan bagi anaknya.
Wacana semacam itu hanya sebagai gambaran bahwa seksualitas perempuan, adalah
hal yang tabu, terepresi, dianggap negatif. Adakah yang memperkarakan
keperjakaan para siswa? Nihil. Tes keperawanan menjadi wujud paling kentara
perlakuan tak adil terhadap perempuan. Perempuan baik adalah perempuan yang
masih perawan sampai menikah.
Bagaimana dengan laki-laki? Berapa kali pun pernah masturbasi atau berhubungan
seks dengan perempuan mana pun, nyaris tak terkena sanksi sosial apa pun.
Bagaimana pula mengecek keperjakaannya? Keberadaan selaput dara dalam tubuh
perempuan di satu titik membawa problem tidak terhindarkan alih-alih
kenyamanan, utamanya di negara-negara dengan budaya konservatif.
Walaupun wacana tes keperawanan sudah berulang kali mendapat reaksi negatif
dari pembela hak perempuan, isu ini tak sudah-sudah diangkat di Indonesia. Pada
2017, hal ini disarankan oleh seorang hakim pula, Binsar Gultom. Khalayak pun
mengkritiknya dengan tuduhan tak sensitif, bias gender, dan sebagainya. Bila
seorang penegak hukum saja masih bersikap seksis macam itu, maka tak layakkah
perempuan meragukan penjaminan hak-haknya kelak? Patriarki adalah sistem
budaya, bukan perkara perbuatan individu saja. Pahitnya, sistem budaya macam
ini memberi makna-makna terhadap sesuatu yang berimbas pada pelabelan, sikap
diskriminatif, sampai eksklusi sosial terhadap perempuan.
Sumber : Tirto.id
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar