Mengeksploitasi Asmat: Hutan, Budaya dan Akhirnya Gizi Buruk - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

Mengeksploitasi Asmat: Hutan, Budaya dan Akhirnya Gizi Buruk

Mengeksploitasi Asmat: Hutan, Budaya dan Akhirnya Gizi Buruk Seorang ibu bersama anaknya Amatus (3) tertidur di Aula Gereja Protestan, Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa 

Tien Soeharto mendirikan Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat pada 1985.
Asmat dieksploitasi sejak dulu. Hutan, budaya, dan kehidupan mereka habis dirambah.

Dalam sepekan terakhir perbincangan nama Asmat kembali mencuat. Sayangnya, kali ini mencuat karena kabar buruk: persoalan campak dan gizi buruk yang melanda wilayah yang terletak di Papua bagian barat daya tersebut.

Antara melaporkan campak dan gizi buruk menjangkiti penduduk Kabupaten Asmat sejak September 2017. Pada masa itu, terdapat 68 balita dan anak yang dicatat meninggal dunia.

Alih-alih ada perbaikan, yang terjadi pada awal Januari 2018 justru lebih bikin pedih. Menurut Antara, 393 orang menjalani rawat jalan dan 175 lainnya menjalani rawat inap akibat campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Fenomena ini pun ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) pemerintah Indonesia.

Kepada sejumlah wartawan, Presiden Jokowi menawarkan pilihan merelokasi warga Kabupaten Asmat yang terdampak. Menurutnya, itu merupakan langkah yang baik.

"Karena itu kuncinya nanti akan saya sampaikan ke gubernur dan bupati, langkah lebih baik kalau itu direlokasi ke kota karena jumlahnya juga nggak banyak,” ujar Jokowi pada Senin (22/1/2018).

Relokasi baru sebatas rencana. Sejumlah pihak, termasuk Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Asmat Elisa Kambu, pun menentangnya, seraya mengatakan bahwa rencana tersebut bukanlah jalan keluar.
Direlokasi Karena Hutan Dieksploitasi
Relokasi bukan kata-kata baru bagi orang-orang Asmat yang dikenal terampil dalam mengukir kayu tersebut. Masyarakat Asmat pernah direlokasi pada era Orde Baru. Penyebabnya bukan campak pun gizi buruk, melainkan eksploitasi hutan.

Leslie B. Rollings, dalam tesis berjudul The West Papua Dillema (2010) untuk University of Wollongong, menjelaskan pengolahan hutan di Papua dimulai pada 1970-an ketika sumber daya hutan di  Kalimantan dan Sumatera tidak lagi menarik perhatian penebang kayu (hlm. 157-158)

Di satu sisi, seiring beroperasinya para penebang kayu di hutan-hutan Papua, ekspor kayu dari bumi cenderawasih itu pun meningkat. Dari 1979 hingga 1981, nilai ekspor kayu dari Papua dicatat sebesar 30 juta dolar AS. Namun, di sisi lain, secara otomatis populasi pepohonan di Papua, termasuk yang berada di Asmat, menurun. Tidak hanya pohon yang hilang, eksploitasi hutan itu pun berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat Asmat. Carmel Budiarjo mencatat berbagai dampak itu dalam West Papua: Under the Indonesian Jackboot (1996).

Dalam artikelnya tersebut, Budiarjo mengatakan penduduk Asmat menjadi sasaran teror saat itu. Mereka juga dipaksa bekerja di perusahaan penebangan kayu yang berpusat di Jakarta, sebuah perusahaan yang dilindungi militer lokal.

Tidak hanya itu, untuk memfasilitasi eksploitasi, masyarakat setempat direlokasi dari pedalaman ke pinggiran sungai. Itu dilakukan agar mereka berada di lokasi yang letaknya lebih dekat ke tempat pemuatan kayu. Dengan begitu, pemerintah juga lebih mudah mengawasi kegiatan. Pada masa itu, wilayah Asmat hanya dapat diakses orang luar dengan izin khusus dari Jayapura.

Budiarjo mencatat, pada 1982 para pemerhati lingkungan memperingatkan, setelah satu dekade berlangsungnya penebangan kayu ulayat, orang-orang Asmat berada di ambang kepunahan budaya. Mereka menyatakan perusahaan kayu yang beroperasi di wilayah Asmat telah mengubah masyarakat menjadi pekerja kayu yang dibayar rendah.
Memuseumkan Asmat
Wilayah Asmat sudah diketahui sejak Belanda bercokol di Indonesia. Namun, hingga akhir abad ke-19 hanya wilayah pantainya saja yang sudah dirambah otoritas kolonial itu. Penjelajahan hingga ke wilayah pedalaman Asmat baru dilakukan pada awal abad ke-20 dan orang yang memimpin penjelajahan itu adalah seorang kapten tentara Hindia Belanda bernama Antony Jan Gooszen.

Gooszen memimpin ekspedisi menjelajahi Papua bagian barat daya semasa 1907, 1908, dan 1913. Hasilnya, dia mengeloksi 6.616 objek untuk museum dengan 933 objek di antaranya berasal dari Asmat. Gooszen terus menjelajah pada tahun berikutnya hingga dia terkena malaria dan harus dilarikan ke Batavia.
Kemudian pada 1960-1961 Adrian A. Gerbrands, antropolog dari Leiden University, Belanda, meriset pengukiran kayu di Asmat. Hasilnya, Gerbrands mampu mengoleksi 599 objek.

Selain Gooszen dan Gerbrands, Asmat Art: Woodcarvings of Southwest New Guinea (1999) yang disunting Dirk Smidt juga mengisahkan penjelajahan dan penelitian lain mengenai Asmat yang dilakukan semasa Papua mash dibawah kuasa Belanda.

Syahdan, pada 17 Agutus 1973, Asmat Museum of Culture and Progress (AMCP) didirikan di Agats – salah satu kecamatan di Kabupaten Asmat. Objek yang dipamerkan berjumlah 2000 artefak dan sebagain besar merupakan koleksi yang diperoleh dua misionaris Katolik, Gunter Konrad dan Toias Scheneebaum.

Tiga belas tahun setelahnya, tepatnya pada 1986, Museum Asmat didirikan di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Siti Hartinah (Tien), istri Presiden Soeharto. Ia terdiri dari sejumlah museum yang berusaha merepresentasikan budaya Indonesia. Pengunjung dapat melihat ukiran-ukiran Asmat, diorama kehidupan Asmat, dan perkakas yang digunakan orang-orang Asmat di Museum Asmat. Benedict Anderson, dalam Imagined Communities (1991) menegaskan bangsa merupakan komunitas terbayang. Ia terbayang karena masing-masing anggota komunitas tersebut jarang bahkan tidak pernah bertatap muka, tetapi mereka ‘merasa’ menjadi bagian dari suatu komunitas. Novel, koran, lalu museum merupakan medium teknis yang membuat orang-orang dapat membayangkan suatu bangsa.

“Menjamurnya museum di Asia Tenggara menengarai sebuah proses pewarisan (narasi tentang bangsa) sedang berjalan,” sebut Anderson.

Pendirian museum, termasuk AMCP, dengan mengikuti alur pemikiran Anderson, memang memiliki muatan politis. Ia bisa dilihat dari tanggal pendiriannya, 17 Agustus 1973, yang bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan Indonesia. Tahun 1973 juga tepat 10 tahun Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia.

Kata “progress” yang secara harfiah dapat diartikan “kemajuan” juga menjadi tengara pengunjung bahwa ketika koleksi yang dipamerkan museum adalah proses-proses kemajuan yang dicapai Asmat.

Dengan mendirikan sebuah museum bertema Asmat yang terpisah dari anjungan (istilah khas dalam TMII untuk menyebut satu unit miniatur provinsi) Papua semacam usaha penegasan politis bahwa Orde Baru saat itu memberikan tempat yang lebih terhadap Asmat.
Petaka Promosi Budaya Asmat
Asmat memang menarik perhatian. Saat hutan-hutan Asmat dijarah para perusahaan, para pemangku kebijakan Orde Baru justru gencar melakukan promosi kebudayaan yang ditampilkan, selain lewat museum, juga lewat pertunjukkan pengukir kayu yang didatangngkan dari Asmat.

Pada Agustus 1984, pameran ukiran-kayu Asmat diselenggarakan di Jakarta. Sebanyak 15 pengukir-kayu didatangkan dari Asmat untuk mendemonstrasikan kemampuannya.

Setahun berikutnya, tepatnya pada 1985, Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat (YKPA) didirikan. Tien Soeharto, bertindak sebagai pelindung yayasan tersebut. Sedangkan ketua pengurus yayasan dipegang Jenderal M. Kharis Suhud. Sementara itu, Siti Hardiyanti alias Tutut (anak pertama Soeharto) bercokol sebagai wakil ketuanya.
“Yayasan ini didirikan pada 1985 tapi baru resmi menjadi badan hukum di akhir 1987, dengan setoran modal Rp5 juta oleh para pendirinya, di mana termasuk tokoh-tokoh perusahaan keluarga Kartasasmita, Ibnu Sutowo, Bakrie, dan Bukaka, serta Menteri Sosial waktu itu, Nyonya Nani Sudarsono,” George Aditjondro dalam Harta Jarahan Harto (1998).

Seperti namanya, kegiatan YKPA berkutat dalam hal pengembangan budaya Asmat. Ia mendirikan Gedung Pusat Asmat di Kabupaten Asmat, kemudian mengirim pengukir kayu khas Asmat untuk pameran di Jakarta (Agustus 1988), Jerman dan Perancis (September 1988), serta Inggris (1990). Namun, George Aditjondro, dalam Harta Jarahan Harto (1998), justru mengatakan bahwa YKPA ada untuk menutupi kerusakan alam yang terjadi di Asmat.

“Boleh dikata, misi yayasan yang dilindungi Nyonya Tien dan melibatkan putri sulungnya ini adalah menetralisir advokasi gerakan lingkungan sedunia, termasuk organisasi-organisasi lingkungan di Indonesia, tentang perusakan hutan di kawasan Asmat, Papua Barat,” sebut George (hlm. 6-7).

Kalimat yang George sebutkan itu bukan tanpa dalih. Perusahaan yang berperan dalam eksploitasi hutan di Asmat, dalam catatan George, adalah grup Djajanti Djaja. Presiden Komisaris kelompok itu adalah Sudwikatmono yang masih saudara sepupu dengan Soeharto, dengan saham 10 persen di perusahaan ini.

Melihat Asmat artinya melihat bagaimana masyarakat dan alamnya dieksploitasi. Ia memang ditampilkan menawan dalam berbagai gelaran, namun itu tidak seindah kemalangan yang terus-menerus terjadi.

Diposisikan sebagai (salah satu) ikon multikulturalisme oleh negara, Asmat toh masih saja menderita. 
 Sumber : tirto.id

Tidak ada komentar: