Tiga Orang Yang Terlupakan Dalam Kasus Sakitnya Puti Hatil - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

Tiga Orang Yang Terlupakan Dalam Kasus Sakitnya Puti Hatil


Selama bulan Oktober sebuah kasus medis dari wilayah Korowai menjadi viral di seluruh Papua. Kasus ini adalah kasus mengenai seorang anak kecil Korowai, Puti Hatil. Facebook dan grup What’s App menyebarkan permohonan doa dan gambar-gambar serta dalam waktu yang singkat keluar berita dan artikel mengenai anak kecil ini di berbagai media massa.
Puti Hatil adalah anak laki-laki berumur tiga tahun yang menderita dengan penyakitnya selama sebulan di daerah terpencil Afimabul di wilayah Korowai. Luka di pipinya menjadi semakin parah dan menggerogoti pipinya sehingga menjadi sebuah lubang yang besar di pipinya. Tidak ada jalan, tidak ada toko-toko, tidak ada listrik, dan tidak ada kehadiran pemerintah hampir diseluruh wilayah tersebut. Didalam kekalutan hati mereka melakukan perjalanan jauh dibantu oleh penginjil Dakinus Wanimbo menuju rumah saya di Danowage. Mereka mulai berjalan dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore untuk mencapai Danowage, melewati hutan rimba, rawa-rawa serta menyeberangi sungai-sungai kecil. Klinik misionaris di Danowage segera menolong dan mempersiapkan dia untuk segera ke rumah sakit Dian Harapan dimana dia sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang luar biasa.
Si Puti kecil sudah mendapatkan banyak perhatian media pada dua bulan terakhir ini. Walaupun begitu, Di dalam artikel ini saya akan menyorot tiga orang lainnya yang dilupakan dari kasus Puti Hatil yang sebenarnya juga patut mendapat perhatian.
Daniel Hatil:
Daniel Hatil adalah ayah dari Puti Hatil. Daniel menyaksikan bagaimana kondisi anaknya yang masih kecil itu semakin memburuk dan memburuk. Dari yang awalnya hanya sebuah bisul kemudian menjadi luka yang terbuka dan semakin melebar dan sampai pada penggerogotan area pipi hari demi hari.
Artikel ini mengenai tiga orang yang terlupakan pada cerita mengenai Puti Hatil. saya mengakui bahwa Daniel Hatil sesungguhnya tidak dilupakan oleh media hanya saja media tidak menyoroti hal-hal yang paling penting mengenai ayah dari Puti Hatil. Saat ini saya sedang membaca sebuah artikel koran mengenai Daniel Hatil yang berjudul, “Daniel Hatil, Pria Korowai Ini Pertama Kali Makan Nasi”. Ini adalah artikel yang baik dan saya senang diterbitkan. Tetapi artikel ini melewatkan topik utama yang sesungguhnya. Aspek yang paling penting pada cerita tersebut bukan mengenai manusia terpencil yang datang dari hutan dan kemudian makan nasi untuk pertama kalinya atau bahkan melihat mobil dan motor untuk pertama kalinya. Hal ini hanya akan menciptakan sebuah sensasi terhadap keprimitifannya atau menulis tentang dia karena ketidakberuntungannya yang sangat tidak berpengetahuan mengenai dunia. Tentunya pembaca dimotivasi untuk kasihan kepada Daniel.
Ini bukanlah motivasi yang benar. Kita tidak seharusnya mengasihani Daniel Hatil; kita seharusnya memuji dia. Fokus utama dari beberapa artikel yang menyebutkan Ayah Puti Hatil, Daniel Hatil, seharusnya seperti ini: Sungguh ayah yang sangat berdedikasi. Sungguh teladan kasih yang ditunjukkan ayah kepada anaknya.
Pada malam itu saat saya bertemu Puti Hatil saya bercucuran air mata tiga kali. Salah satu dari guru di Danowage menangis ketika Puti dibawa menuju teras depan rumah saya dan dia melihat lubang di pipi Puti Hatil. Guru ini menangis, “Ya Tuhanku, kenapa Tuhan mengijinkan ini, kenapa Tuhan?” dan kemudian, sesudah saya sendiri, saya juga mencucurkan air mata atas penderitaan yang dirasakan oleh anak ini. Kemudian, sesudah malam itu saya mencucurkan air mata lagi untuk kedua kalinya atas nasib buruk yang dialami masyarakat Korowai. Saya berpikir pada saat itu, “Tahun ini adalah 2017 dan masih ada banyak tempat di dunia ini di mana anak-anak seperti itu yang menderita tanpa pertolongan medis dan harus dibawa selama 10 jam untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Bahkan pertolongan itu pun bukanlah sebuah rumah sakit tetapi sebuah klinik sederhana milik misionaris yang mana adalah milik kami.” Saya menangis pertama untuk Puti, dan kemudian kedua kalinya untuk buruknya keadaan kesehatan secara umum di wilayah Korowai.
Tetapi untuk ketiga kalinya saya menangis bercucuran air mata pada malam itu yang membuat saya tidak dapat tidur. Saya berbaring di tempat tidur. Saya mulai berpikir mengenai Daniel Hatil. Disini ada seorang ayah yang menyaksikan penderitaan anaknya yang memburuk dari hari ke hari. Tidak ada bantuan yang tersedia. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di artikel yang lain dituliskan, Daniel tidak pernah pergi ke kota. Dia tidak pernah makan nasi. Dia tidak pernah melihat motor dan mobil. Jika itu benar, hal ini menunjukkan keberanian yang besar. Melewati perjalanan yang panjang dengan anaknya untuk menyelamatkannya. Meskipun ada perasaan takut, dan meskipun tidak memiliki uang sama sekali, Ayah Puti Hatil tetap membawanya. Dan dia berjalan kaki. Dia berjalan kaki menggendong anaknya melewati hutan rimba. Ketika tiba dia tidak memiliki sepatu. Bahkan dia tidak memiliki uang ataupun yang lain di lengannya selain Puti di pelukan lengannya. Dia melindungi Puti dengan eratnya.
Saya akan membuat suatu pengakuan. Ketika Puti tiba di depan teras rumah kami, aroma bangkai tercium dimana-mana. Daging Puti dari pipinya sudah terinfeksi. Ini artinya pembusukan kronis, memakani wajahnya sentimenter demi sentimeter. Penyakit yang diderita Puti adalah Noma, atau Cancrum Oris, dan kita bisa menemukan gambar yang mengerikan ini di dalam internet. Penyakit ini berawal dari malnutrisi dan penyakit ini secara lambat menggerogoti semua daging di wajah. Hanya orang-orang yang berada pada lingkungan yang sangat miskin dan malnutrisi yang mengalami penyakit ini. Tetapi pada tahun ini, tahun 2017, dimana banyaknya dana OTSUS yang disumbangkan ke Papua. Uang sedang mengalir di tanah Papua. Sementara wilayah ini sangat miskin. Dimanakah perginya uang itu?
Aroma dari luka Puti Hatil sangat bau. Bahkan tubuh Puti beraroma tidak sedap. Ketika saya mendekatinya untuk memeriksa lukanya, saya hampir mulai mual dan ingin muntah karena aroma tubuhnya yang sangat berbau. Isteri saya sangat setia untuk membersihkan dan memperban luka-luka itu tanpa komplen sedikitpun. Sesudah kejadian malam itu, tidak ada dari antara kami yang bisa menikmati makan malam kami. Kami kehilangan selera makan dan tidak merasa lapar lagi setelah melihat kejadian malam itu dan mencium aroma yang tidak sedap.
Saat saya membaringkan badan di tempat tidur pada malam itu, saya mulai berefleksi atas semua peristiwa ini. Saya hanya berdekatan dengan Puti sekitar satu atau dua menit untuk memeriksa lukanya. Isteri saya mendekatinya untuk beberapa menit untuk membersihkan dan memperban luka itu. Tetapi ayah Puti, Daniel, membawa anak ini dan menggendongnya selama 10 jam melalui hutan! Badan dan wajah Puti bersebelahan langsung dengan ayahnya. Daniel mengangkat anakya berjam-jam bahkan berhari-hari meskipun aroma bau busuk dan nanah di pipi anaknya menempel di bagian tubuhnya. Tetapi ayahnya sama sekali tidak pernah menjaga jarak dari anaknya karena aroma bau itu. Malahan dia terus memeluk anaknya dengan erat dan memberikan rasa aman.
Kemudian saya mencucurkan air mata ketiga kalinya pada malam itu karena hati saya sangat tergugah dengan tindakan Daniel Hatil. Jika dapat diberikan sebuah ilustrasi yang luar biasa akan cinta kasih seorang ayah kepada anaknya, maka kejadian di teras depan rumah saya sangat mewakili kejadian itu di mana Daniel Hatil tidak hanya menggendong anaknya selama 10 jam melewati hutan belantara dan rawa-rawa, tetapi juga bertahan selama berjam-jam memeluk anaknya sambil mencium aroma yang begitu menjijikkan akibat infeksi. Baginya aroma bau itu tidaklah menjadi masalah. Tidak menjadi masalah baginya nanah yang berbau yang keluar dari pipi anaknya. Itulah cinta kasihnya kepada puteranya.
Saya akhirnya merefleksikan bahwa cinta kasih Daniel kepada puteranya sangat sama dengan bagaimana cinta kasih Allah kepada umat manusia. Kita semua telah jatuh dan sering kesakitan. Dosa kita telah mengotori kita dan membuat kita tidak lagi bersih. Kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perjalanan panjang agar mendapatkan pertolongan, sehingga Allah Bapa kita selalu siap memeluk kita dan membawa kita ke tempat yang aman dan menjadi penyelamat kita.
Jadi, ayah Puti Hatil, Daniel Hatil seharusnya tidak disorot sebagai sebuah objek untuk dikasihani bahkan tidak juga seharusnya kesederhanaan atau keprimitifannya menjadi fokus utama. Kita tidak patut merasa lebih superior atau lebih dibandingnya karena kita lebih berpendidikan tinggi. Lebih baik, Daniel dijadikan contoh yang baik untuk kita belajar sesuatu darinya. Keluarga mengalami banyak keretakan di Papua. Banyak ayah-ayah di kota yang memukul anak-anak mereka atau pergi dan mabuk-mabukan dan berbicara kasar kepada keluarganya. Tetapi di sini, di tengah hutan ada seorang pria yang bermurah hati yang mengorbankan waktu dan tenaganya demi kenyamanan puteranya, Puti. Kejadian ini membuktikan tentang bagaimana uang bahkan pendidikan bukan menjadi jawaban utama untuk meningkatkan moralitas manusia seperti seorang Daniel yang bahkan tidak memiliki uang ataupun pendidikan. Banyak orang di kota-kota memperbesar keserakahannya dengan memperoleh uang sebanyak mungkin serta menambah kelicikan mereka untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Ini mengenai apa yang ada di dalam hati manusia merupakan hal yang paling utama.

Penginjil Dakinus Wanimbo:
Orang pertama yang sudah terlupakan pada artikel ini adalah Daniel Hatil. Tetapi sekarang saya ingin menghadirkan orang kedua pada artikel ini yang terlupakan di tiap doa-doa selama proses penyembuhan Puti. Beliau adalah orang yang paling berperan penting dalam menyelamatkan hidup Puti Hatil. Beliau adalah penginjil Dakinus Wanimbo, seorang pendeta dari GIDI yang sudah melayani selama 6 tahun di kampung Afimabul. Beliaulah satu-satunya orang yang mengantar Puti dan Daniel ke Danowage serta berjalan dengan mereka dan memimpin mereka menuju klinik kesehatan misionaris sehingga Puti dapat dirujuk ke rumah sakit Dian Harapan.
Penginjil Dakinus memasuki wilayah Korowai sebagai Penginjil di gereja GIDI pada tahun 2009 untuk bekerja menolong membuat landasan terbang darurat milik gereja di Danowage. Dia dulunya adalah majelis gereja di daerah pegunungan, tetapi dia merasa kecewa karena ucapan-ucapannya tidak dihargai ketika dia berkotbah di sana. Dakinus menjelaskan “Saya mengingat bacaan yang tertulis bahwa ‘seorang penginjil dihargai dimanapun kecuali di kampung kelahirannya sendiri dan termasuk sanak keluarga’. (Markus 6:4) dan saya merasa sepertinya saya sebaiknya pergi dan menyebarkan Kabar Baik Tuhan di tempat lain di mana mereka akan memberikan apresiasi terhadap injil itu melebihi sanak saudara saya yang mana keluarga saya sendiri dan kampung halamanku. Saya merasa sepertinya mungkin orang asing mengapresiasi sabda Tuhan lebih daripada orang-orang kita. Akhirnya saya masuk ke dalam program GIDI untuk membuka landasan darurat di Korowai di Danowage dan sesudah itu pergi ke Sinimburu untuk sementara waktu kemudian pindah ke Afimabul di mana saya sudah sedang melayani selama 6 tahun.”
Afimabul adalah wilayah yang sangat terpencil. Dakinus menyatakan, “Afimabul itu jauh dan susah…selalu ada masalah atap karena atap daun dan Alkitab saya selalu kena basah dan karena tidak ada listrik waktu malam susah baca dari api saja. Juga waktu saya kasih Firman Tuhan saya selalu rasa terbatas dan saya menangis dan berdoa kepada Tuhan, ‘Tuhan, bagaimana saya bisa sampaikan Firman Tuhan lebih baik karena saya terbatas.’” Dakinus berusaha menjelaskan dengan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi dia terbatas. Begitulah penginjil GIDI harus mampu berbahasa Indonesia sebelum terjun ke ladang pelayanan. Ketika saya bertanya kepada orang-orang Korowai mengenai Dakinus untuk evaluasi kinerja penginjil, sangat jelaslah bahwa mereka mencintai Dakinus. Mereka dapat merasakan bagaimana hatinya yang luar biasa terhadap orang-orang Korowai walaupun bahasa Korowai dan bahasa Indonesianya terbatas. Apa lagi, masyarakat Korowai semua merasa bahwa Penginjil Dakninus benar mencintai mereka karena itu dibuktikan dengan perbuatannya. Saya bertanya “tidak semua penginjil dapat berbahasa Korowai bahkan Dakinus tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Dapatkah dia melayani di kampung kalian dengan baik jika tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik?” Jawab mereka dengan sepenuh hati “Ya kami setuju”. Dia sangat disukai dan mereka mengatakan begini “Dia tidak bisa bicara baik, tapi itu jelas dia punya hati yang baik…dia orang baik sekali. Dia orang hebat dan luar biasa!”. Hati Dakinus sangat murni, dia adalah pria yang dicintai oleh orang-orang Korowai. Hal ini mengingatkan kita pada kutipan “Perbuatan berbicara lebih besar daripada kata-kata itu sendiri.”
Dakinus adalah penginjil yang pertama kali sadar akan penyakit Puti dan melakukan perjalanan panjang bersama Daniel dan Puti ke Danowage sehingga Puti mendapatkan pertolongan lebih. Ketika Puti dikirim ke Sentani dan pihak pemerintah menjenguk Puti, dan ketika koran-koran menyorot penyelematan Puti dan mengambil banyak gambar mengenai Puti, tidak ada seorang pun yang menyebutkan nama Dakinus. Dia sudah dilupakan tetapi Dakinus telah menyelamatkan hidup Puti. Dan Puti bukanlah orang pertama yang sakit yang dibawanya ke Danowage oleh Dakinus tetapi dia sudah sering membawa banyak orang sakit ke Danowage untuk mendapatkan kesembuhan.
Apa yang menjadi harapan-harapan Dakinus? Dia berkata, “Kesehatan harus ada tenaga tetap.” Dan lagi “Saya mau menjadi kader dan belajar kasih obat,” dan juga “Pemerintah Asmat kadang-kadang ke Baigun tapi tidak pernah ke Afimabul karena itu terlalu jauh, saya minta harus ada perhatian khusus dari pemerintah. Kalau Pemda tidak bisa, harus datang langsung dari tingkat propinsi. Sudah banyak orang sakit yang tidak dapat bantuan.” Akhirnya Dakinus rindu menemukan tempat kursus bahasa Indonesia sehingga dia dapat belajar bahasa nasional dengan lebih baik dan melayani dengan lebih baik kepada orang-orang bukan Lani.
Dakinus adalah simbol dari kebaikan yang orang-orang Korowai miliki sampai saat ini. Ada banyak kecenderungan yang mungkin menjadi pembicaraan hangat dan prasangka buruk terhadap tugas-tugas penginjil-penginjil ini sebagai pekerja-pekerja tim kesehatan pemerintah memasuki wilayah dan mengambil alih semua pekerjaannya. Penginjil-penginjil ini sering miskin, tanpa alas kaki, sederhana dan terbatas. Beberapa penginjil tidak dapat berbahasa Indonesia seperti Dakinus. Kami pernah mempunyai seorang pria yang tidak tahu membaca ataupun menulis tetapi dia selalu membawakan tas medis saya dan obat-obatan jika kami melakukan perjalanan panjang hari demi hari dan dari desa ke desa. Kita seharusnya memberikan penghormatan kepada pahlawan seperti Dakinus dan melakukan apapun untuk mendukung mereka. Sebelum pemerintah pernah masuk ke wilayah Korowai, gereja sudah ada sebelumnya di sana. Gereja telah berkorban untuk kebaikan orang-orang Korowai, mengorbankan kesehatan mereka sehingga menjadi sakit karena melayani orang-orang Korowai. Beberapa penginjil telah kehilangan anak-anak mereka selama pelayanannya di wilayah Korowai dan beberapa penginjil sudah meninggal akibat penyakit yang mereka derita selama mereka melayani atau membuka landasan darurat. Baru-baru tahun ini, seorang penginjil yang sudah tua dari kampung Ujung Batu menderita gagal jantung sesudah menembus hutan selama 12 jam dari posnya ke Danowage sebagai bagian dari pelayanannya.
Seperti yang diproklamasikan Gubernur Lukas Enembe ketika dia berbicara di Danowage dua bulan lalu saat kunjungannya untuk melepaskan tim kesehatan, dia berkata kepada saya, “Sebelum pemerintah pernah masuk di wilayah-wilayah terpencil di kawasan Pedalaman Papua, misionaris-misionaris dan gereja selalu hadir pertama.. untuk menolong orang-orang di sana.” Dan dia menambahkan lagi bahwa pemerintah dan gereja harus bekerja sama demi kesejahteraan masyarakat Korowai. Dia berterimakasih kepada saya dan penginjil-penginjil untuk semua ini.
Karena semakin bertambah guru-guru dan perawat-perawat yang profesional masuk ke wilayah Korowai untuk menolong orang di sini, saya sangat memohon untuk jangan berpikir bahwa pelayanan para penginjil tidak penting, mereka memang miskin dan tidak berpendidikan tinggi, tetapi menyelamatkan jiwa. Mereka sudah menyelamatkan hidup banyak orang di wilayah Korowai dan sudah kehilangan beberapa anak mereka dan teman sebaya selama pelayanan mereka. Mari jangan lupakan orang seperti penginjil Dakinus Wanimbo.
Bayi Kana:
Ketiga dan orang terakhir yang terlupakan yang saya ingin tulis dalam peristiwa sakit dan penyembuhan Puti Hatil, yaitu bayi Kana yang juga berasal dari Afimabul. Hari di mana penginjil Dakinus membawa Daniel dan Puti ke Danowage, Bayi Kana juga dibawa mereka dalam rombongan mereka. Dia juga dibawa ke Danowage bersama dengan Puti Hatil tetapi dia tidak sembuh
Minggu lalu, Puti diterbangkan kembali ke kampungnya melalui helicopter. Jahitan pipinya sudah tertutup dan lukanya kembali menjadi bersih, kering dan sehat. Dia kembali ke wilayah Korowai karena sudah sembuh dan tidak terdapat penyakit lagi. Dia adalah cerita yang sukses. Tetapi Bayi Kana juga sedang tidak mengalami penyakit apapun lagi. Dia sudah lama tidak memiliki penyakit apapun. Bukannya kembali ke kampungnya dengan terbang bersama helikopter, bayi Kana telah kembali ke tanah. Dia sekarang sudah meninggal sejak 6 minggu lalu.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa anak kecil ini juga dibawa ke Danowage dari Afimabul bersama-sama dengan rombongan Puti Hatil. Saat Puti mendapatkan perhatian di ruang VIP rumah sakit Dian Harapan dan donasi berjuta-juta datang untuk Puti serta orang banyak berkunjung memberikan perhatian, bayi Kana sudah membusuk di tanah, dikuburkan dengan peti kayu yang sangat sederhana yang terbuat dari papan jelek. Bayi Kana adalah salah satu gambaran dari kondisi buruknya pelayanan kesehatan di wilayah ini.
Kami sangat ingin sekali menolongnya. Sayangnya dia sudah meninggal pada malam itu. Ternyata dia sudah sakit selama hampir sebulan dan saat tiba di Danowage kondisinya sudah hampir sekarat. Kemungkinan juga karena perjalanan yang terlalu panjang untuk menuju ke Danowage. Kami tidak memiliki kesempatan untuk sungguh-sungguh melakukan pengobatan dan menerbangkan dia keluar seperti Puti Hatil.
Saya biasanya menulis dengan detil setiap orang yang sudah meninggal di kampung ini dan mengambil foto mereka untuk saya dokumentasikan. Tetapi saya tidak dapat melakukan ini kepada bayi Kana. Saya hanya ingin melupakannya karena hal ini sangat menyayat hati saya. Dia berbaring sangat damai seperti boneka yang kecil. Dia tidak lagi merasa sakit, hanya sebuah tidur yang damai, dadanya tidak lagi naik dan turun dengan nafas karena dia sudah sangat damai.
Saya sesungguhnya ingin sekali melupakan bayi Kana. Saya tidak dapat tidur ketika saya hendak memikirkannya lagi. Saya terus terbayang dengan wajah kecilnya yang begitu damai dan bentuk mulut kecilnya yang tidak lagi bernapas. Saya sungguh mencoba melupakannya. Saya mencucurkan air mata untuknya tetapi saya menahan dan menekan kesedihan saya dan mencoba kesibukan lain sehingga saya dapat memperpendek masa duka ini.
Penginjil-penginjil menguburkan bayi Kana tanpa kehadiran saya. Saya memakai banyak alasan untuk tidak hadir dalam acara pemakaman bayi Kana karena saya tidak mampu melihat proses pemakamannya. Saya juga tidak sanggup melihat tangisan ibu dari bayi Kana karena saya sudah merasa gagal untuk menyelamatkan anaknya. Setiap kali saya melihat ibunya saya terus merasa bersalah.
Tetapi bayi Kana hanyalah bagian besar dari cerita seperti Puti. Puti diselamatnya tetapi Kana tidak.
Mahasiswa-mahasiswa Papua sudah tergerak hati untuk menolong mengumpulkan uang untuk Puti. Berdiri di pinggir-pinggir jalan untuk mencari sumbangan demi menolong Korowai. Seorang aktivis Soleman Itlay meringkasnya begini, dia berpikir bahwa Puti adalah “malaikat dari surga” dan seperti halnya malaikat yang merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan berkat ke dunia kepada orang-orang baik. Saya sangat setuju bahwa malaikat kecil Puti sekiranya memberkati seluruh wilayah Korowai. Wajahnya yang ditandai dengan lubang yang mengerikan itu ternyata membangunkan banyak orang mengenai kebutuhan kesehatan wilayah ini. Tuhan sudah sedang memakai kasus Puti untuk memberkati seluruh wilayah Korowai. Beberapa mahasiswa Papua sesungguhnya memilih menyamakan Puti seperti Yesus Kristus. Saya bingung mendengar itu dan tidak mengerti tetapi sekarang saya percaya itu juga benar. Yesus menyerahkan dirinya sehingga banyak orang dapat diselamatkan. Melalui pencobaan Yesus Kristus dan penderitaannya, Allah melimpahkan berkat-berkat ke dalam dunia. Melalui penderitaan Puti, seluruh wilayah Korowai terlihat mengalami berkat mendapat pelayanan kesehatan.
Sebagai ganti rugi dari bekas luka di pipinya seumur hidup, wajah puti di berbagai gambar-gambar di koran dan Facebook telah membawa pertolongan kepada masyarakat Korowai. Dia menjadi simbol pergerakan untuk mengumpulkan bantuan dan dukungan. Karena kesakitannya Puti, banyak anak-anak Korowai tidak akan perlu mengalami sakit-penyakit atau kematian.
Sesudah menunggu sangat lama datangnya pertolongan, sekarang kami mengalami kebanjiran pertolongan. Saya hanya memuji gereja-gereja, para mahasiswa dan kantor pemerintahan, dan masyarkat yang sudah menolong dengan cepat. Siloam Hospital sedang mengirim dua perawatnya ke wilayah ini, pemerintah sudah mengirim dokter Yuvina Gobai, perawat Herman dan bidan Lian di wilayah ini dan mereka sudah memberkati masyarakat Korowai dengan kepedulian mereka yang sangat besar dan masih ada janji lagi dari pemerintah untuk menambah tenaga lagi. Gubernur Lukas Enembe sangat cepat berespon dan turun ke Danowage dan berjanji akan mengirimkan lebih banyak pertolongan kepada mereka, menunjukkan hatinya yang begitu besar bagi orang-orang di pedalaman Papua. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa kunjungan pemerintah bukan hanya sekedar mengambil foto atau pencitraan politik tetapi sungguh hati gubernur sangat cinta kepada masyarakatnya.
Banyak orang baik sekarang terlibat dan bekerja sama dari kedua gereja dan pemerintahan untuk menolong orang Korowai.
Seperti dalam kitab Perjanjian Lama Yusuf mengorbankan dirinya ke dalam pencobaan yang berbahaya agar supaya menyelamatkan saudara laki-lakinya dan keluarganya serta berkata engkau mereka-rekakan yang jahat untukku, tetapi Tuhan merekakan untuk kebaikan untuk menyelamatkan bangsanya. Tuhan menggunakan media untuk mengekspos penderitaan Puti Hatil untuk memberikan pertolongan jangka panjang kepada seluruh orang Korowai. Tuhan memakai penderitaan Puti Hatil untuk menolong keluarganya dan orang Korowai lainnya.
Terkadang saya takut jika saya tidak dapat menjadi kasus Puti Hatil yang merepresentasikan pertolongan yang berdatangan di wilayah Korowai (seorang bayi yang sangat lemah yang sudah ditolong, disembuhkan dan kembali dengan sukses dari kota). Kadang saya kuatir jika orang-orang akan segera melupakan ujian orang Korowai. Saya berharap kasus Puti Hatil akan menjadi lambang pertolongan orang Korowai, tetapi saya takut bahwa Bayi Kana akan lebih pantas menjadi lambang keadaan orang Korowai – satu anak yang sakit yang meninggal tanpa bantuan dan akan terlupakan. Karena itu saya ingin melestarikan memori dia lewat artikel ini.
Kita memiliki dua pilihan masa depan untuk masyarakat Korowai. Siapakah yang akan lebih baik dalam mempresentasikan takdir orang Korowai, Puti Hatil dan penyelamatannya, atau bayi Kana dan kematiannya?
Kasus bayi Kana masih lebih mewakili nasib yang menyedihnya dari orang-orang di pedalaman Papua secara umum. Di seluruh wilayah Korowai menderita banyak kesakitan dan sudah tidak dilayani dengan baik oleh pemerintah bahkan sampai saat ini. Selama bulan Oktober saja sudah ada lebih dari 12 orang meninggal. Pada kasus yang sama saat Puti sedang mendapatkan pemulihan terdapat kerusuhan dan masalah di Freeport. Ini adalah kebenaran yang menyedihkan: jika satu orang ditembak di Freeport atau jika ada demonstrasi tunggal, kemudian media akan menjadi heboh. Kejadian ini akan berada pada semua headlines berita. Tetapi seratus orang Papua yang diam-diam sekarat di tengah hutan setiap hari, setiap minggu mereka mati dalam jumlah yang lebih besar, dan jauh dari sorotan media. Setiap bulan jumlah kematian mereka lebih tinggi. Ini adalah tragedi yang nyata di Papua. Sementara 90% dari media fokus kepada politik di kota-kota, orang-orang di pedalaman Papua tidur dengan rasa lapar dan banyak yang mati karena itu. Ada banyak Puti Hatil-Puti Hatil lainnya di wilayah ini. Bahkan lebih menyedihkan lagi, banyak bayi-bayi Kana lainnya.
Diantara tahun 2009 dan 2015, penembakan dalam wilayah proyek Freeport membunuh 20 orang dan terluka 59. Pada waktu yang sama sakit penyakit sudah membunuh lebih banyak orang Korowai di mana saya melayani. Saya berdoa dan berharap tahun ini adalah tahun terakhir di mana tangisan mereka tidak didengar.
I Yohanes 3:16, 18:
“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”
Barangsiapa mempunyai harta di dunia ini dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu hatinya terhadap mereka, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?
“Anak-anakku! Janganlah kita mengasihi hanya di mulut atau hanya dengan perkataan saja. Hendaklah kita mengasihi dengan kasih yang sejati, yang dibuktikan dengan perbuatan”
Mr. Trevor  Jhonson

Tidak ada komentar: