Gizi Buruk, Potret Asmat Mewarnai Hari Gizi Nasional - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

Gizi Buruk, Potret Asmat Mewarnai Hari Gizi Nasional

Image result for Gizi Buruk, Potret Asmat Mewarnai Hari Gizi Nasional

Berita tentang KLB Gizi Buruk dan Wabah Campak yang menimpa anak-anak pedalaman Asmat mengejutkan kita. Apalagi, berita ini mendadak muncul hanya beberapa hari sebelum peringatan Hari Gizi Nasional.
Adanya pemberitaan oleh media cetak maupun elektronik mengenai KLB gizi buruk, khususnya Kompas, Pemerintah dan berbagai instansi serta lembaga telah bergerak untuk memberikan pertolongan. Kita patut bangga bahwa Pemerintah, bahkan Presiden, turut bergerak mengatasi masalah gizi buruk. Dengan peristiwa ini, kita merasakan bahwa media cetak dan elektronik betul-betul membantu masyarakat. Sulit dibayangkan, jika kondisi ini tidak diangkat oleh media, sudah pasti semakin banyak anak yang menjadi korban.
Kompas mencatat sejak Oktober 2017 hingga pertengahan Januari 2018, sebanyak 67 anak Asmat telah meninggal karena penyakit KLB Gizi Buruk dan Wabah Campak. Serangan wabah Campak, rupanya menjadi jauh lebih parah karena para korban mengalami gizi buruk. Mengapa seringkali terjadi gizi buruk di kawasan ini?

BUDAYA MERAMU

Sebagian masyarakat Asmat hidup bukan dari bercocok tanam atau beternak, namun dari mencari makan yang ada di hutan. Tentu saja, masyarakat Asmat menjadi sangat tergantung pada alam, tergantung pada apa yang diperoleh dari hutan. Jika mereka tidak beruntung, mereka tidak akan makan, sehingga keluarga mereka juga tidak akan makan.
Mereka memiliki tanah yang luas namun tidak bercocok tanam, sehingga mereka tidak memiliki perencanaan seberapa banyak dan kapan mereka akan memanen, serta tanaman apa yang ingin mereka panen. Jika mereka menanam padi atau jagung, mereka dapat memprediksi kapan mereka akan panen. Jika mereka beternak babi atau ikan, mereka akan memperoleh gambaran kapan dan seberapa banyak mereka dapat mengkonsumsi.
Selain tidak pasti, nilai gizi dari makan hasil hutan belum tentu mencukupi dan baik untuk anak-anak maupun mereka sendiri. Peristiwa ini setidaknya mendorong dua kesadaran, yaitu penghasilan dari hutan yang tidak pasti dan kandungan gizi yang belum tentu cukup bagi anak-anak.

PERKAWINAN TERLALU MUDA DAN KELAHIRAN TERLALU RAPAT

Saat diwawancarai oleh Kompas TV, Bpk Brunoto S. Arifin, seorang pemerhati kemanusiaan dan budaya yang telah lama memberikan atensi pada Asmat, mengatakan bahwa sangat banyak ditemukan perempuan berusia 15-16 tahun telah memiliki tiga orang anak. Beberapa foto juga menjunjukan adanya seorang ibu yang menggendong anak di depan dan di belakang sekaligus.
Memiliki anak pada usia yang terlalu muda tentu kurang sehat. Ibu belum memiliki fisik yang cukup siap untuk memiliki anak. Akibatnya, anak mereka akan tumbuh kurang sehat dan kurang kuat.
Selain itu, tingkat kerapatan kelahiran yang sedemikian tinggi membuat mereka tidak memiliki persediaan makanan, perhatian, dan perawatan yang cukup bagi anak-anak. Kondisi menjadi semakin rumit karena makanan mereka tidak pasti, dari hutan, dan yang membutuhkan makanan itu pun jumlahnya banyak.
Karena konsumsi makanan yang tidak mencukupi baik dari kuantitas maupun nilai gizinya, Air Susu Ibu (ASI) yang ada pada pada para ibu menyusui cenderung tidak berkualitas dan tentu saja menjadi tidak cukup bagi anak-anak. Kondisi anak-anak tentu akan menjadi tidak sehat dan mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal.

MINIMNYA PETUGAS KESEHATAN

Pendidikan sangatlah kurang di pedalaman Asmat. Namun, minimnya petugas dan penyuluh kesehatan merupakan salah saru penyebab semakin meluasnya KLB gizi buruk ini. Di tingkat distrik ada puskesmas dan puskesmas pembantu. Sayangnya, sangat jarang ada petugas dan penyuluh kesehatan di puskesmas dan puskesmas pembantu tersebut.
Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang kesehatan dan perawatan anak. Jika para petugas dan penyuluh kesehatan hadir di sana, tentu saja peristiwanya tidak akan menjadi sedemikian parah.
Busung lapar akibat kurang gizi tentu saja bukan penyakit yang datang tiba-tiba. Penyakit ini muncul karena kekurangan asupan gizi pada makanan yang terjadi dalam tentang waktu yang lama.

KURANGNYA ALAT TRANSPORTASI

Banyak pihak, bahkan Presiden Jokowi, mengatakan bahwa beberapa wilayah merupakan wilayah perairan dan sungai. Kurangnya alat transportasi, termasuk yang disediakan oleh Pemerintah, menjadikan kondisinya semakin parah. Meskipun berada di tempat yang jauh, jika alat transportasi tersedia secra memadai, tentu saja akan tetap mudah dijangkau.
Kurangnya alat transportasi ini mengakibatkan sulitnya logistik dan kegiatan-kegiatan layanan publik mendasar lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan. Mengapa jarang ada guru dan dokter di tempat itu? Salah satu jawabannya adalah kurangnya alat transportasi.

PENDAMPINGAN HOLISTIK

Pendampingan secara menyeluruh mungkin merupakan solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah gizi di masyarakat Asmat. Mereka memerlukan pendampingan yang serius agar dapat mengubah pola hidup meramu ke bercocok tanam, beternak, atau kegiatan produktif lainnya. Mereka juga memerlukan bantuan alat transportasi sebagai penunjang.
“Saya kira pendampingan yang bersifat holistik adalah yang paling tepat untuk Asmat ini. Kita tidak bisa hanya sekedar memberikan uang tunai atau cara-cara instan untuk membantu mereka. Uang tunia akan segera habis, bahkan semakin banyak dibantu, mereka akan semakin konsumtif dan semakin tergantung pada bantuan karena mereka akan semakin malas. Pendamping holistik saya kira adalah yang paling tepat,” tegas Pak Brunoto mengakhir sesi Sapa Indonesia malam Kompas TV, Selasa, 23 Januari 2018. 

Tidak ada komentar: