Ironi Kesehatan di Tanah yang Kaya - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

Ironi Kesehatan di Tanah yang Kaya


 Petugas kesehatan memberikan perawatan kepada sejumlah anak penderita gizi buruk dari kampung Warse, Distrik Jetsy di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Minimnya pelayanan kesehatan menjadi kendala mendasar bagi persoalan kesehatan di Papua 

JAKARTA - Masalah kesehatan menjadi problem tahunan yang tampaknya sukar terlepas dari masyarakat Papua. Minimnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, pelayanan kesehatan yang terbatas, dan buruknya kualitas gizi yang menjadi asupan sehari-hari menjadi pintu masuk mewabahnya berbagai penyakit yang diderita masyarakat Papua. 
Banyak data dan fakta yang bisa mengungkap situasi miris ini. Tak perlu jauh-jauh melengok ke belakang, di tahun ini saja beberapa daerah di Papua, seperti Kabupaten Asmat dan Kabupaten Pegunungan Bintang, menghadapi beragam penyakit terkait gizi buruk, diare dan campak. Puluhan jiwa melayang akibat semua keterbatasan-keterbatasan yang seharusnya tidak terjadi.
Dari data Posko Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Asmat, diketahui terdapat puluhan anak meninggal dunia, antara lain 37 anak meninggal dunia di distrik Pulau Tiga, 15 anak di distrik Fayit, 8 anak di distrik Aswi, 4 anak di distrik Akat dan 6 anak meninggal di RSUD Agats. Data per 28 Januari 2017 menyebutkan KLB campak dan gizi buruk mengakibatkan 71 kasus kematian dengan 66 kematian akibat campak dan lima kematian karena gizi buruk.
Terhitung sejak September 2017 hingga 28 Januari 2018, tim kesehatan terpadu juga telah memeriksa 12.841 anak di 23 distrik di Kabupaten Asmat. Dari pemeriksaan kesehatan tersebut ditemukan 646 anak terkena campak, 218 anak berstatus gizi buruk, dan 11 anak mengalami campak dan gizi buruk. Selain itu, ditemukan 25 anak yang dirawat karena diduga memiliki gejala campak.
Lain lagi yang terjadi di wilayah Pegunungan Bintang, tepatnya di kampung Pedam, Distrik Okbab. Di sana setidaknya ada 25 bayi dilaporkan meninggal akibat diare dan gizi buruk.
Pemerintah sebenarnya tak diam terhadap persoalan kesehatan, yang jadi masalah klasik di Papua ini. Belakangan ini, keseriusan pemerintah tampak lewat penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9/2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan untuk Papua dan Papua Barat yang dikeluarkan pada tanggal 11 Desember 2017. Di inpres tersebut tertera bahwa kesehatan yang menjadi salah satu fokus pemerintah di Papua.
Khusus KLB di Asmat ini, pemerintah pun cepat bereaksi melakukan pelbagai penanganan, seperti mengirimkan tim kesehatan terpadu atau melakukan pendistribusian obat.
Bentuk perhatian dari pemerintah ini tentu kabar positif buat masyarakat setempat. Namun, agar ke depan Papua tidak lagi jadi sumber perhatian gara-gara problem kesehatan, pemerintah seyogianya perlu memastikan kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aloysius Giay, menyebutkan kendala mendasar yang dihadapi terkait permasalahan kesehatan ini, antara lain yakni belum terpenuhinya tenaga kesehatan di daerah yang terisolasi karena kurangnya dana insentif bagi tenaga kesehatan.
Kemudian, lantaran masalah luas wilayah Papua yang dihubungkan dengan sebaran penduduk, dan pelayanan kesehatan yang tidak merata. Dia menyebutkan, saat ini jarak rata-rata antara pusat kesehatan masyarakat (puskesmas.red) yang satu dengan yang lain terbilang cukup jauh, rata-rata mencapai 1.200 kilometer persegi.
“Selain itu karena pemekaran wilayah administratif yang terus terjadi di lokasi-lokasi yang ada di Papua, serta akses terhadap layanan dan informasi kesehatan yang relatif rendah bagi masyarakat di Papua,” terangnya kepada Validnews, Rabu (30/1).


Aloysius menambahkan sesungguhnya, Papua saat ini membutuhkan sekitar 38.000 tenaga kesehatan. Bila itu terpenuhi maka nantinya mereka bakal ditempatkan di berbagai daerah terpencil di provinsi tersebut.
“Tenaga kesehatan yang sudah ada di Papua sekitar 12.000 orang, namun masih sangatlah kurang,” kata Aloysius
Menurutnya, 38.000 tenaga kesehatan yang dibutuhkan itu terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, tenaga perawat, bidan, analis dan tenaga kesehatan lainnya.
Buat membiayai pelayanan kesehatan masyarakat Papua di tingkat kabupaten dan kota, pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata Aloysius, pada tahun 2016 lalu telah mengucurkan dana sebesar Rp1,4 triliun dan tahun 2017 Rp1,7 triliun. Sayang, dana tersebut dipastikannya belum mampu mendongkrak kesehatan masyarakat Papua.
“Kalau Papua kita mau bilang cukup itu susah dan kemahalan. Antara Jawa sama Papua itu, 1 banding 10, 1 puskesmas di Papua bisa bangun 10 puskesmas di Jawa. Sebab di Papua harus naik pesawat dan setengah mati,” keluhnya.
Untuk pembangunan fasilitas kesehatan, seperti puskesmas di tingkat kabupaten di Papua disebutkannya memang langsung dibawah kewenangan Kemenkes. Dalam hal ini Dinas Kesehatan Papua menjadi penghubung antara pemerintah kabupaten di Papua dengan Kemenkes.
Dana triliunan rupiah tersebut digunakan untuk berbagai program kesehatan dan layanan jaminan kesehatan masyarakat di Papua. Anggaran juga akan dipakai untuk membiayai pelayanan dasar yang meliputi posyandu, puskesmas dan rumah sakit yang ada di masing-masing kabupaten/kota.
Aloysius menyebutkan, di masa otonomi daerah ini pemerintah provinsi (Pemprov) Papua sebetulnya juga telah melakukan pelbagai upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan ini. Salah satunya dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk fasilitas kesehatan, dengan rincian sebesar 80% dialokasikan untuk kabupaten dan 20% untuk provinsi.
“Kemudian untuk mengatasi ketimpangan fasilitas medis kami sedang membangun Rumah Sakit rujukan regional” katanya.
Peningkatan Pemerataan
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imran Agus, mengatakan dalam sepuluh bulan terakhir, paling tidak terdapat lima isu penting kesehatan di Papua yang perlu penanganan segera. Di antaranya penjaminan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, penanganan masalah gizi buruk, penanggulangan wabah penyakit menular, pelayanan kesehatan di daerah bencana, dan pemenuhan jumlah serta penyebaran tenaga kesehatan.

Imran menyebut rendahnya status kesehatan penduduk miskin di Papua selama ini erat kaitannya dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, baik karena kendala geografis maupun kendala biaya (cost barrier). Keadaan ini bertahan hingga akhirnya memunculkan masalah gizi buruk.
“Munculnya kejadian gizi buruk ini merupakan fenomena gunung es yang menunjukkan bahwa masalah gizi buruk yang muncul hanyalah sebagian kecil dari masalah gizi buruk yang sebenarnya terjadi” katanya kepada Validnews.
Menurutnya, ada dua faktor penyebab utama terjadinya gizi buruk di Papua. Penyebab pertama karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Penyebab kedua akibat terjadinya serangan penyakit infeksi yang berulang.
Kedua faktor ini disebabkan oleh tiga hal secara tidak langsung, yaitu ketersediaan pangan yang rendah pada tingkat keluarga, pola asuh ibu dalam perawatan anak yang kurang memadai dan yang terakhir ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, serta sarana pelayanan kesehatan dasar yang terbatas.
Penyebab tidak langsung tersebut merupakan konsekuensi dari pokok masalah dalam masyarakat, yaitu tingginya pengangguran, tingginya kemiskinan, dan kurangnya pangan.
“Ya memang, seperti disampaikan Pak Presiden, lingkungan di Papua kan tahu sendiri ya aksesibilitas dari masyarakat yang jauh-jauh itu sedikit menyulitkan di dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan,” imbuh Imran.
Oleh karenanya, menyadari pentingnya penanganan yang berkelanjutan terhadap masalah kesehatan penduduk di Papua, Kemenkes telah melaksanakan beberapa upaya pemeliharaan kesehatan penduduk setempat, terutama pada penduduk miskin. Tujuan upaya ini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, terutama pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit.
Belajar dari pengalaman penanggulangan gizi di Indonesia dan pengalaman berbagai negara. Penanggulangan masalah gizi buruk dilakukan Kemenkes dengan pendekatan yang menyeluruh dengan melibatkan semua pihak, baik keluarga, masyarakat, pemerintah maupun pelaku ekonomi.
Intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah gizi buruk itu terdiri atas tahap jangka pendek (darurat), jangka menengah, dan jangka panjang.
“Karena faktor geografis keberadaan tenaga kesehatan yang relatif dikirim ke Papua itu enggak mudah. Sehingga tim ini akan bergantian selama tiga bulan selama sepuluh hari itu bergantian,” ujarnya.
Upaya lain yang akan dilakukan adalah terkait peningkatan pemerataan. Pelayanan kesehatan akan dilaksanakan dengan cara penempatan tenaga dokter dan paramedis. Terutama di puskesmas dan rumah sakit di daerah tertinggal.
Selain itu juga, peningkatan ketersediaan, pemerataan, mutu, dan keterjangkauan harga obat serta perbekalan kesehatan, terutama untuk penduduk miskin, dan peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit.
Melalui pelaksanaan berbagai kebijakan itu dan dibarengi dengan kemajuan di bidang sosial dan ekonomi, diharapkan taraf kesehatan penduduk miskin akan menjadi lebih baik.
Dokter melakukan tindakan ke pasien Surfana (1 tahun) saat penanganan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (27/1). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Satgas Kaki Telanjang
Direktur Komunikasi Kesehatan dan Gizi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Pungkas Bahjuri Ali, menyebutkan bahwa pembangunan di wilayah Papua harus segera mendapatkan perhatian khusus. Sebab meskipun PDB per kapitanya tinggi, tapi nyatanya indikator-indikator yang menentukan kualitas hidup manusia di Papua rendah.

Pada variabel kesehatan, disebutnya, Papua juga mendapat peringkat terendah untuk indeks persentase balita yang proses kelahirannya ditolong oleh tenaga kesehatan.  Sebaliknya, provinsi ini berada di peringkat tertinggi untuk angka gizi buruk pada balita per seribu penduduk. Sementara Provinsi Papua Barat berada di peringkat paling bawah untuk persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria kelayakan sanitasi dan rasio elektrifikasi.
Karena keadaan inilah, dia mengungkapkan diperlukan perencanaan dan pendekatan pembangunan di Papua yang merujuk kepada karakteristik adat hingga geografis di Papua. Langkah ini bukan tanpa alasan, sebab wilayah Papua terdiri dari lima wilayah adat.
“Saya kira kalau Papua banyak sekali yang sudah kita lakukan. Selain ada otonomi khusus yang ada di sana dan anggaran khusus pula di sana” katanya kepada Validnews.
Dia mengakui keterbatasan tenaga medis menjadi hal penting yang memengaruhi kurangnya kualitas kesehatan. Padahal pemerintah setempat telah menyediakan dana untuk para dokter yang bersedia ditugaskan di Papua, namun jumlah dokter yang adapun nyatanya masih terbatas.
“Untuk jangka pendek, Program Satuan Tugas (Satgas) Kaki Telanjang sangat membantu,” imbuh Bahjuri.
Satgas Kaki Telanjang yang dibentuk Dinas Kesehatan Provinsi Papua ini merupakan petugas kesehatan daerah yang berjalan kaki menuju wilayah yang sulit dijangkau.
Program jangka pendek lainnya adalah rujukan menggunakan pesawat terbang, rumah sakit perahu, dan juga bantuan biaya langsung untuk anak berumur di bawah 4 tahun yang diberikan kepada ibunya.
Di luar itu, terdapat pula program Bangga Papua atau Bangun Generasi serta Keluarga Papua Sejahtera. Namun, untuk tahun ini baru tiga kabupaten yang menjadi percontohan program ini, yakni Asmat, Paniai, dan Lany Jaya.
“Diharapkan, pada tahun-tahun berikutnya program ini dapat merambah ke seluruh Papua,” ungkapnya.
Bagi pihaknya, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan ini harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Hingga saat ini langkah-langkah yang telah ditempuh adalah peningkatan akses kesehatan terutama bagi penduduk miskin melalui pelayanan kesehatan gratis, peningkatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular , peningkatan kualitas, keterjangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan dasar,
Selain itu, ada juga peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan penjaminan mutu, keamanan dan khasiat obat dan makanan penanganan kesehatan di daerah bencana serta peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
“Kemudian kita juga ada affirmative action memang program itu ditujukan ke sana untuk Papua contohnya untuk kesehatan 2018 ini ada telemedicine karena jarak antara satu fasilitas dengan fasilitas jauh masyarakat menggunakan teknologi artinya orang enggak perlu datang tapi dengan dengan teknologi handphone bisa komunikasi” tuturnya.
Dia mengatakan, secara umum status kesehatan penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, di kawasan barat Indonesia, dan di kawasan perkotaan, cenderung lebih baik. Sebaliknya, status kesehatan penduduk dengan sosial ekonomi rendah, di kawasan timur Indonesia dan di daerah perdesaan masih tertinggal.
Makanya, pembangunan kesehatan di Papua rencananya akan diarahkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, meningkatkan perilaku hidup bersih, dan sehat meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit, meningkatkan keadaan gizi masyarakat. 
Pembangunan kesehatan juga dikaitkan pada penanggulangan beban ganda penyakit, yaitu belum teratasinya penyakit menular yang diderita oleh masyarakat, seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, dan diare, serta munculnya kembali penyakit gizi buruk dan campak.
“Kualitas pelayanan menjadi kendala karena tenaga medis sangat terbatas dan peralatan kurang memadai,” tutupnya.
Terfokus Ke Asmat
Terpisah, Menteri Sosial Idrus Marham mengaku sudah melakukan beberapa program untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Kemensos wajib permanen hadir di sana, Papua. Kami juga sudah memberikan bantuan Rp300 ribu per bulan sampai tiga tahun mendatang untuk 37 keluarga,” kata Idrus.
Bantuan itu diakuinya saat ini masih terfokus di Suku Asmat. Dari catatan Kemensos, data keluarga miskin lebih banyak ditemukan di Papua Barat ketimbang di Provinsi Papua. Papua Barat dari catatan Kemensos terdapat 3.489 keluarga miskin, sedangkan di Provinsi Papua sekisar 3.300-an keluarga.
Meski data Kemenkes mencatat laporan kurang gizi sudah terdata sejak September 2017, namun penanganan khusus baru dilakukan di awal tahun 2018, itu juga setelah adanya korban meninggal dunia. Namun dia membantah isu Papua ini telah dimanfaatkan demi kepentingan politik semata jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.
“Tidaklah, kalau ada yang mau mempolitisasi keadaan ini silakan saja. Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan. Sinergitas elemen yang ada sangat diperlukan. Totalitas, kebersamaan, gotong royong itu yang diperlukan saat ini,” kata dia.
Kemensos sejauh ini katanya telah menyerahkan bantuan ke Asmat, Papua senilai Rp3,9 miliar. Jumlah itu terdiri dari bantuan sembako dan logistik Rp804.680.000, Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Rp3,1 miliar, dan Program Keluarga Harapan Rp87,5 juta. Rekapitulasi bantuan 2017—2018 untuk Kabupaten Asmat sebesar Rp 3.999.050.000.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyatakan persoalan fasilitas kesehatan (faskes) di Papua merupakan persoalan klasik. Sejak tahun 2006, Adriana mengatakan sudah melakukan penelitian khusus di Papua. Malahan ia menyoroti berbagai pembangunan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan juga pusat.
“Suku Asmat itu letak geografisnya rawa-rawa. Tidak ada pelayanan kesehatan masyarakat di sana,” kata Adriana saat dihubungi Validnews di Jakarta, Senin (29/1).
Keberadaan Suku Asmat di pedalaman Papua, kata dia, tak berbeda jauh dengan keadaan suku-suku lainnya. Perkampungan di Papua hampir seluruhnya masih berada di pegunungan, ataupun rawa, seperti Asmat. Ia mengatakan, sejauh ini belum terdapat kesadaran besar pemerintah daerah setempat terkait pembangunan fasilitas kesehatan.
“Jangan hanya menunggu pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat juga seharusnya cepat tanggap. Jangan jadikan Papua sebagai tempat investasi saja, tapi pelayanan untuk masyarakat di nomor duakan,” terang dia.
Banyak program pemerintah dikatakannya tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat, itu sebagai kebutuhan pada dasarnya. Ia mencontohkan seperti program-program yang dicanangkan Kemenkes sebagai kebijakan di Papua. Selama ini, Kemenkes hanya memprioritaskan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
"Memang Papua nomor dua setelah Jakarta, terbanyak HIV. Tapi, terkait gizi juga penting agar tidak ada korban selanjutnya," ucap dia.
Adriana mengatakan dengan keadaan geografis tak biasa di Provinsi Papua dan Papua Barat, masyarakat Papua sebetulnya tak usah lagi diajari bertahan hidup meski masih menerapkan cara tradisional.
“Tapi kan, mereka sekarang tidak hidup sendiri walaupun di pedalaman. Mereka berhak mendapatkan apa yang kita dapatkan di kota. Dari dulu ini hanya menjadi pembicaraan, tapi tidak ada solusi benar-benar menangani Papua secara keseluruhan,” ucap dia.
Dia menyerukan agar pemerintah tidak mengabaikan gizi bagi mereka di pedalaman. Selain itu, akses menuju desa-desa di Papua semestinya sudah tidak lagi menjadi persoalan sekarang, setelah berpuluh tahun Papua hidup sebagai bagian dari Indonesia.
Ia kembali mencontohkan Suku Asmat sebagai penduduk asli Papua. Bukan cerita baru Suku Asmat sering hidup berpindah-pindah atau nomaden. Beberapa waktu lalu, ia mengingat Presiden Joko Widodo memiliki wacana merelokasi masyarakat di pedalaman.
“Bukan merelokasi juga solusinya. Tempatkan tenaga-tenaga kesehatan di seluruh desa di Papua, bangun fasilitas kesehatan masyarakat. Mereka akan selalu nomaden selama ada makanan untuk bertahan hidup, itu kan tujuan mereka nomaden,” terang dia.
Saat ini masyarakat Papua diakuinya masih jauh dari sejahtera dalam menikmati berbagai fasilitas umum. Mendaki gunung, menggunakan perahu, hingga menempuh perjalanan berjam-jam masih menjadi gambaran Papua hingga detik ini.
Kehidupan nomaden sendiri masih mencerminkan masyarakat Papua masih mengandalkan alam, bukan harta berupa mata uang dalam mencari makanan. Meski begitu masyarakat Papua tetaplah berhak menerima kesejahteraan.
“Jangankan di pedalaman, di kota-kota Papua saja, itu masyarakatnya masih rendah daya belinya. Sumber daya alam mereka nomor satu jadi pendapatan negara, tapi nasib masyarakat Papua masih jauh dari sejahtera,” terang dia. (Fuad Rizky, Denisa Tristianty)

Tidak ada komentar: