55 Juta Rakyat Indonesia Tak Terakses Sanitasi - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

55 Juta Rakyat Indonesia Tak Terakses Sanitasi

Sanitasi buruk merupakan salah satu penyebab tingginya angka stunting di Indonesia
 Suasana pemukiman kumuh di Jakarta Utara . ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna
Suasana pemukiman kumuh di Jakarta Utara . ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna 

JAKARTA – Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Indonesia (PDGMI) Fasli Jalal mengatakan, Indonesia menempati peringkat kelima dari 47 negara di dunia yang mengalami stunting pada anak.Stunting atau pertumbuhan tidak maksimal pada anak setidaknya disebabkan oleh tiga hal yakni kurangnya asupan gizi anak, sanitasi buruk, dan lambatnya penanganan infeksi.
Menurut ahli gizi tersebut, Indonesia merupakan negara yang masih menggunakan perbandingan berat badan dengan usia sebagai indikator stunting. Sedangkan PBB menggunakan Scalling Up Nutrition (SUN) atau gerakan peningkatan gizi yang dihitung sejak anak masih berupa janin dalam kandungan.
“Yang patut diwaspadai bukanlah persoalan berat badan, akan tetapi pertumbuhan sel otak yang berpengaruh terhadap kecerdasan anak,” ujar Fasli seperti dikutip Antara, Rabu (24/1).
Fasli mengingatkan, keluarga modern saat ini banyak menyerahkan pengasuhan anak kepada pekerja rumah tangga tanpa memperhatikan asupan gizi anak karena sibuk bekerja. Persoalan lainnya adalah buruknya sanitasi yang membuat anak cacingan. Sehingga asupan gizi tidak terserap dengan baik oleh tubuh.
“Dan yang terakhir, infeksi, karena jika seorang anak mengalami demam artinya gizi dalam tubuh anak semakin berkurang. Hal tersebut dapat diperparah dengan nafsu makan anak yang juga menurun selama sakit” kata Fasli dalam acara bertajuk Bibit Unggul Untuk Indonesia Hebat: Mencegah Stunting Meningkatkan Daya Saing Bangsa tersebut.
Masalah pertumbuhan ini kata Fasli, dapat diatasi dengan mengubah pola perilaku pengasuhan anak, gaya hidup sehat, serta imunisasi. Bahkan menurutnya, persoalan gizi anak yang terlambat diantisipasi dapat menimbulkan kerugian ekonomi sekitar US$30—40 miliar untuk biaya pengobatan.
“Anggaran BPJS Kesehatan bisa jebol kalau harus menutup biaya ini,” imbuhnya.
Ancam Kualitas SDM
Sedang dari sisi ekonomi, Sri Enny Hartati yang merupakan Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, stunting merupakan masalah yang dapat mengancam kualitas sumber daya manusia (SDM) yang pada akhirnya akan menjadi beban ekonomi negara karena tidak mampu bersaing dengan SDM negara lain.
Penanganan gizi yang terlambat dikatakan Enny dapat menghasilkan generasi yang berpikir lambat dan gagal tumbuh.
“Ke depannya, ekonomi berbasis kepada inovasi dan kreativitas tentunya membutuhkan SDM yang cerdas agar mampu bersaing dengan negara lain,” kata Enny pada kesempatan yang sama.
Untuk itu Enny berharap pemerintah dapat menangani persoalan stunting dengan cepat. Menurutnya, gizi buruk ini menjadi lingkaran yang saling berkait, seperti kesejahteraan masyarakat, peluang pekerjaan, rendahnya pendidikan, daya saing, dan lain sebagainya. Sehingga membutuhkan ‘gunting’ untuk memutus mata rantainya.
“Tingginya kasus stunting di Indonesia sangat memprihatinkan mengingat sebagai negara agraris kebutuhan pangan seharusnya sudah terpenuhi tanpa harus impor, berbeda halnya dengan negara-negara dengan lahan pertanian terbatas,” tandasnya.
Di sisi lain, Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) dari Millennium Challenge Account (MCA)-Indonesia Ling Mursalin menjelaskan, pentingnya kerja sama pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk mengatasi persoalan stunting.
Terkait hal tersebut MCA-Indonesia bekerja sama dengan Bappenas dan Menteri Dalam Negeri telah meluncurkan berbagai program untuk menurunkan angka prevalensi pada anak usia di bawah dua tahun. Prevalensi tersebut diharapkan turun dari 37% pada tahun 2013 menjadi 28% di tahun 2019.
“Salah satu programnya adalah pencegahan stunting dalam 1000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masih janin hingga anak berusia dua tahu,”  ujar Lin.
Selain itu Lin juga mengingatkan, pentingnya pemberdayaan perempuan untuk melakukan intervensi program yang sudah berjalan, seperti Posyandu. Menurutnya, program Posyandu sangat tepat untuk memerangi gizi buruk. Namun, harus terintegrasi dengan baik agar pemberian asupan gizi kepada balita lebih optimal.
Untuk memerangi gizi buruk, dikatakan Lin, juga dapat dilakukan dengan terus memperkuat tenaga kesehatan di daerah-daerah. Dengan terus mengkampanyekan pentingnya persoalan gizi.
“Saat ini jumlahnya sudah mencapai 17.000 yang disebar ke berbagai Puskesmas. Tugasnya diantaranya memberikan konseling pola asuh yang baik, pemberian gizi yang seimbang, termasuk sanitasi sehat,” jelasnya.
Lin juga membenarkan persoalan sanitasi buruk sebagai salah satu penyebab kuragnya gizi bagi balita. Mengingat dari 200 juta penduduk Indonesia, sebanyak 55 juta belum terakses sanitasi dalam artian masih BAB sembarangan.
“Kalau melihat peta stunting di Indonesia maka hampir sama dengan peta sanitasi yang buruk di Indonesia. Tingginya kasus diare pada Balita menjadi penyebab terjadinya kekurangan gizi,” kata dia.
Berdasarkan studi Grantham-McGregor (2017) anak yang mengalami stunting berpotensi memiliki penghasilan rendah sekitar 20 persen dibandingkan anak yang tumbuh optimal. UNICEF juga memperkirakan stunting dapat membuat PDB turun 3%. (Zsazya Senorita)

Tidak ada komentar: