Jalan Panjang Mengubah Paradigma Kesehatan Masyarakat Papua - YOPEN TERO TABUNI S,Kep.Ns

Senin, 19 Maret 2018

Jalan Panjang Mengubah Paradigma Kesehatan Masyarakat Papua

Perlu kajian mendalam guna menemukan solusi terbaik dalam penanggulangan kompleksitas masalah kesehatan di Papua
Seorang anak penderita gizi buruk berjalan di teras Aula Gereja Protestan, Agats, Kabupaten Asmat, Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Seorang anak penderita gizi buruk berjalan di teras Aula Gereja Protestan, Agats, Kabupaten Asmat, Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa 

JAKARTA – Di tengah janji-janji pemerataan pembangunan yang didengungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebuah pemandangan kontradiktif sedang berlangsung di sebuah pulau di timur Indonesia bernama Papua. Puluhan jiwa melayang oleh wabah penyakit dan gizi buruk yang terlambat diantisipasi penanggulangannya.
Pemerintah menyebutnya sebagai kejadian luar biasa (KLB) dan akhirnya menaruh perhatian dengan berbagai langkah reaktifnya. Terlambat, kesan itu begitu terasa karena nyawa-nyawa yang seharusnya bisa diselamatkan terpaksa menghadapi takdirnya, meninggal dan dikubur di tanah kelahiran mereka.
Kematian 71 anak di Kabupaten Asmat, karena campak dan gizi buruk serta 25 bayi yang dilaporkan meninggal akibat diare dan gizi buruk di wilayah Pegunungan Bintang, tepatnya di kampung Pedam, Distrik Okbab. Sudah seharusnya menjadi pelajaran berharga, di mana pemerataan  pelayanan kesehatan juga sangat diperlukan. Pada hakikatnya, salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah ketika hak setiap orang untuk hidup sehat dipenuhi.
Baru-baru ini Presiden Jokowi mendesak jajaran pemerintahan untuk melakukan percepatan pembangunan di Tanah Papua. Pada tanggal 11 Desember 2017, dia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Khusus untuk kesehatan, dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2017 itu dijelaskan, demi mempercepat peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan.
Kementerian Kesehatan didorong menjalankan sejumlah program, seperti program peningkatan kesehatan ibu dan anak, serta pengendalian reproduksi remaja, pencegahan dan pengendalian penyakit, penyediaan tenaga kesehatan strategis dan penguatan sistem pelayanan kesehatan dasar serta rujukan, peningkatan gerakan masyarakat hidup sehat, dan pelayanan kesehatan jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi (telemedicine).
Agar dampak program itu maksimal dan kesehatan itu merata di Papua, pemerintah musti mengupayakan tentu harus menyiapkan strategi yang tepat. Pembangunan kesehatan itu Papua harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Dalam upaya peningkatan kesehatan ini, pemerintah harus dapat mengendalikan faktor lingkungan, perilaku masyarakat setempat, pelayanan kesehatan, dan faktor lain yang memengaruhi derajat kesehatan.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imran Agus, menyebutkan selama ini orang Papua yang terdiri dari aneka ragam budaya dan suku telah memiliki pengetahuan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan secara tradisional. Pengetahuan itu secara turun-temurun diwariskan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Karena lebih percaya pada kebiasaan leluhur, mereka akhirnya juga lebih dekat dan percaya dengan kemampuan praktisi, seperti dukun dan sejenisnya. Sebuah kondisi yang menjadi kendala bagi sosialisasi hidup sehat.
“Tapi kita tidak akan berhenti menyosialisasikan pentingnya budaya hidup sehat, termasuk dengan membangun sanitasi yang baik” kata Imran.
Dia mengamati, pembentukan rumah sakit pun bukanlah solusi jitu bagi kesehatan jika warga Papua belum sepenuhnya sadar kesehatan. Di sisi lain, pemerintah provinsi (pemprov) melalui dinas kesehatan sebetulnya gencar mengkampanyekan perilaku hidup sehat, namun permasalahan infrastruktur juga jadi penghambat belum maksimalnya sosialisasi.
Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan kesehatan Papua, semua unsur harus diperhatikan, dimulai dari persoalan akses, infrastruktur, dan juga permasalahan budaya.
“Jadi kita (Kementerian Kesehatan.red) tidak bisa sendirian menghadapi permasalahan ini, kita juga melibatkan berbagai kementerian untuk penyelesaian baik jangka pendek ataupun jangka panjang,” ungkapnya.
Menteri Kesehatan Nila Moloek, menyebut Kemenkes memang tidak membangun rumah sakit di Papua dengan alasan jumlah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) masih rendah. Sebab lainnya, karena program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sendiri memerlukan rekomendasi dari faskes paling bawah, yakni puskesmas, atau dari kecamatan.
“Saya tidak pilih bangun rumah sakit. Jumlah puskesmas di sana masih sedikit sekali, dan memang perlu berjenjang untuk membangun rumah sakit. JKN butuh rekomendasi puskesmas, tidak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit,” ujar dia.
Ia membantah pilihannya itu lantaran potensi bisnis rumah sakit di Papua tak setinggi seperti kota-kota besar, seperti di DKI Jakarta. Dia mengakui, sarana transportasi masih menjadi persoalan besar bagi masyarakat demi mendapatkan pelayanan kesehatan. Meski masih banyak persoalan, dia menurutnya pengobatan berbagai penyakit cara tradisional sudah dapat diatasi.

Perubahan Pola Konsumsi
Direktur Komunikasi Kesehatan dan Gizi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali mengatakan mempelajari karakteristik Papua sangat perlu. Sebagai contoh, warga Papua sangat familiar dengan beternak babi. Jadi, program peternakan di sana harus mengikuti budaya setempat, yakni beternak babi, bukan sapi.
"Misalnya program pertanian daripada menanam padi di wilayah atas kenapa kita tidak lakukan khusus untuk umbi-umbian karena makanan mereka umbi-umbian. Misalnya pembangunan kakao tidak cocok, kenapa kakao tidak difokuskan di daerah yang cocok,” katanya kepada Validnews.
Bappenas mengakui selain Asmat, masih banyak sekali daerah di Papua yang belum terjangkau. Sehingga proses pembangunan kesehatan kerap terhambat karena kepercayaan yang kuat atas adat-adat yang berlaku. Selain itu, faktor perubahan konsumsi makanan pokok.
“Dari sebelumnya warga Papua mengkonsumsi ubi dan sagu sebagai makanan utama berpindah mengkonsumsi raskin, beras bantuan untuk rakyat miskin,” paparnya.
Makanya, sebagai langkah terobosan yang berbasis sosial budaya, pemerintah pusat pun telah merumuskan pendekatan pembangunan kawasan strategis berbasis lima wilayah adat atau budaya.
Kelima wilayah budaya itu, yaitu Kawasan Saereri yang mencakup kabupaten-kabupaten di Teluk Cenderawasih, Kawasan Mamberamo Tabi (Mamta) meliputi pantai utara Papua, dan Kawasan La Pago mencakup wilayah Pegunungan Tengah sisi Timur. Lalu Kawasan Animha di pantai Selatan Papua, dan Kawasan Mee Pago-Bomberai di Pegunungan Tengah sisi Barat dan Mimika.
Dalam konteks pendekatan adat ini, pemerintah mendorong pelibatan desa/kampung dan warga kampung pemilik tanah adat sebagai pemegang saham dalam pelaksanaan program-program investasi, sehingga percepatan pembangunan di Papua, yang berbasis sumber daya manusia (SDM) melalui peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kelembagaan lokal, tercapai.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giay mengatakan persoalan kesehatan di Papua sedikit banyak memang dipengaruhi oleh perubahan konsumsi masyarakat Papua. Minimnya asupan gizi yang dikonsumsi karena masyarakat mulai bergantung kepada bantuan pemerintah.
Dia menyesalkan belakangan ini tanah yang biasa digarap warga untuk bercocok tanam umbi-umbian justru perlahan mulai ditinggalkan. Begitu juga laut, tempat mencari ikan secara turun-temurun itu juga sudah mulai sepi peminat.  
“Dulu Papua hidup dan bersahabat dengan alam. Sejak masuk beras raskin (rakyat miskin.red) dan mi instan perilaku konsumsi mereka berubah,” terang Aloysius.
Menghadapi hal ini, Dinas Kesehatan setempat telah berupaya melakukan koordinasi lintas sektor, baik di daerah ataupun di pusat. Aloysius berharap agar permasalahan mendasar, seperti bantuan beras raskin dan mie instan agar dikaji kembali karena tidak sesuai dengan budaya lokal yang ada di papua.
“Pemerintah pusat dan daerah harus mencari jalan keluar untuk mengatasi asupan gizi. Karena beras bukanlah makanan pokok orang Papua,” ungkapnya.
Dinas kesehatan Provinsi Papua juga mencatat beberapa daerah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat mengenai perilaku hidup sehat, antara lain Kabupaten Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nduga, Tolikara, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Waropen, Kabupaten Supiori, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Paniai, dan Yalimo.
Rangkul Prametra
Pengamat Antropologi Universitas Airlangga, Bambang Budiono mengatakan, jika berbicara masalah kesehatan di Papua, harus ada standar-standar yang perlu diperhatikan, misal kebiasaan masyarakat, dokter, perawat, jenis obat-obatan, dan peralatan yang digunakan.
“Jangan mengira masyarakat Papua atau tradisional tidak memiliki pandangan sendiri. Pada sistem medis misalnya, mereka punya sistem yang sering kita sebut sistem tradisional,” kata Bambang kepada Validnews.
Setiap sistem kebudayaan itu dikatakan Bambang selalu memiliki unsur-unsur lain, misalnya ada sistem keyakinan, sumber daya manusia tertentu yang memiliki pengetahuan tertentu dan kriteria tertentu.
Pada masyarakat tradisional, misalnya terdapat dukun atau yang biasa disebut Prametra (Praktisi Medis Tradisional). Prametra ini sangat melekat di dalam sistem medis masyarakat-masyarakat tradisional, seperti di Papua.
Untuk itu, apabila pemerintah ingin mengubah kebiasaan masyarakat Papua dalam mengurusi kesehatannya, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah terlebih dahulu adalah mengelaborasikan antara sistem medis modern dan sistem medis lokal yang ada di sana sebelum merealisasikan infrastruktur.
“Nah, bagaimana misalnya kita melakukan penetrasi ke dalam masyarakat lokal atau tradisional dengan asumsi sistem modern lebih unggul. Padahal sebenarnya tidak semua sistem medis modern itu lebih unggul dalam mencegah kesehatan, selalu ada keterbatasan. Sebaliknya, juga tidak semuanya sistem medis masyarakat lokal atau tradisional itu semuanya buruk. Ada banyak hal yang sebenarnya memiliki kelebihan,” katanya.
Dijelaskan oleh Bambang, ada satu hal yang mungkin dapat menyelesaikan persoalan kesehatan di Papua. Pemerintah harus saling berdialog pengetahuan terlebih dahulu. Semisal merekrut Prametra sehingga mereka mengenali sistem medis modern, sebaliknya pemerintah juga dapat mempelajari cara-cara mereka membantu masyarakat lokal, walau dalam situasi keterbatasan.
“Harus ada situasi semacam itu, interaksi. Kalau perlu itu juga dilembagakan, katakanlah di Kemenkes karena mereka memiliki otoritas di negara,” sambung Bambang.
Pola seperti ini dikatakan Bambang sudah diterapkan oleh India. Negara tersebut bisa menjadi parameter dalam upaya menangani kesehatan menggunakan pendekatan budaya.
Dikatakannya, di India sudah ada sistem medis tradisional yang masuk dalam universitas, yaitu pengobatan Ayurveda. Di sistem medis Indonesia, hingga saat ini baru memasukkan akupuntur.
“Itu kan sebenarnya kan sistem pengobatan sistem tradisional China. Tapi kemudian kita kan agak terlambat memasukkan itu ke dalam perkuliahan kedokteran, lalu kemudian dikembangkan menjadi anestesi,” terangnya.
Warga menggendong anaknya saat berada di kapal "longboat" menuju Distrik Jetsy di Kabupaten Asmat, Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Adopsi-adopsi terhadap sistem medis lokal, seperti itulah yang diakui Bambang sangat penting untuk membangun magnet yang kuat dengan masyarakat lokal yang lebih percaya pada kebudayaan nenek moyang. Akhirnya mereka dapat lebih menerima perubahan dan mau hidup lebih sehat. Artinya, ada peran negara untuk memberikan ruang lebih besar kepada sistem medis tradisional.
“Contohnya, Prametra memiliki sistem pengobatan yang mereka tahu dari tumbuhan, nah kita yang sudah punya pengetahuan dan teknologi modern seharusnya melakukan penelitian kepada tumbuhan itu untuk mengetahui kandungan, khasiat. Lalu kalau sudah ditemukan melalui laboratorium, nah seharusnya kita adopsi ke dalam sistem medis modern untuk lebih mendekatkan mereka,” jelas Bambang.
Dia juga menyarankan, jangan sampai pemerintah melakukan vis a vis atau saling menghilangkan kebudayaan yang dipercaya.
“Kalau seperti itu, problemnya bisa menimbulkan konflik dan membuat masyarakat bersikap resistensi. Mereka nantinya malah tidak mau memakai karena asing dan bukan merupakan bagian dari sistem di kebudayaan mereka,” lanjutnya.
Akan tetapi, jika bagian dari sistem kebudayaan mereka diadopsi ke dalam sistem kebudayaan yang diinginkan pemerintah, lalu dipakai lagi untuk disalurkan kepada mereka, tingkat resitensinya dikatakan Bambang akan hilang.
“Saya kira dari segi antropologi, pendekatannya harus seperti itu. Bagaimana kita ingin mengubah kebudayaan mereka yang buruk menurut kita dengan cara memasukan apa-apa yang mereka percayai sebagai hal yang baik,” pungkasnya.
Jika bicara masalah standar, kita tidak bisa membandingkan standar sistem setiap kebudayaan. Misalnya ada sistem kebudayaan lokal yang ternyata sangat bisa membantu mereka, hal itu tidak perlu kita hilangkan.
“Selalu ada yang begitu. Saya yakin di dalam masyarakat lokal selalu memiliki pengetahuan lokal dan keterampilan lokal untuk mengatasi kesehatan mereka. Karena negara ini perannya lebih besar maka negara lah yang seharusnya mengadopsi itu ke dalam sistem kebudayaan modern,” ujarnya.
Jadi jika ingin mensejahterakan kesehatan, faktor sosial budaya seperti ini perlu diperhatikan. Dan pelaku-pelaku budaya di sana, baik itu orang yang dipercayai sebagai sesepuh, ahli-ahli medis tradisional, atau apapun, harus dirangkul.
“Sebagaimana India tadi, pemerintah mereka telah merangkul pengobatan hasil kebudayaan lokal, mengkombinasikannya masuk ke dalam dunia modern. Bahkan mereka memiliki universitas yang fokus kepada itu sendiri. Negara turut campur tangan supaya sistem kebudayaan India bisa menjadi bagian dari sistem medis mereka,” tegas Bambang.
Oleh karena itu, Bambang berharap, Depkes mau memanfaatkan ahli-ahli ilmu sosial, budaya, atau mereka yang fokus pada antropologi kesehatan untuk mengatasi permasalahan kesehatan di Papua ini.
Selain itu, terkait mengubah pola hidup masyarakat setempat agar lebih memperhatikan kesehatan, dia menyarankan agar orang-orang yang dipandang di kalangan masyarakat lokal atau tradisional Papua lebih diikutsertakan agar tiap masukan yang baik dari pemerintah dapat lebih didengar. (Fuad Rizky, Fadli Mubarok, Denisa Tristianty) 

Tidak ada komentar: