Ilustrasi gizi buruk. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
JAKARTA – Bencana kelaparan dan wabah penyakit bukanlah perkara baru di Tanah Papua. Kondisi ini kerap menjadi masalah utama bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Papua dan Papua Barat, meski dana otonomi khusus (otsus) mengalir dalam jumlah yang tak sedikit setiap tahunnya.
Keadaan miris yang menimpa masyarakat Papua ini menyita perhatian pelbagai pihak, termasuk pemerintah. Pemerintah prihatin dan ingin mengevaluasi dana otsus karena pada kenyataannya dana tak mampu menanggulangi masalah kesehatan.
Plt Direktur Jendral (Dirjen) Pembangunan Bina Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Diah Indarjati dalam diskusi FM9 Kementerian Komunikasi dan Infromatika (Kemenkominfo), Senin (29/1) lalu, menyatakan dana otsus Papua, terdiri dari Papua dan Papua Barat, akan segera dievaluasi.
Dari data Kemendagri, dana otsus Papua mengalami kenaikan Rp 627.373.328.000. Tahun 2018, dana otsus Papua mencapai angka Rp12.300.999.465.000 dari Rp 11.673.626.137.000 pada tahun 2017.
“Dalam waktu dekat kami akan evaluasi (dana otsus), urusan ini tanggung jawab kabupaten/provinsi. Ini yang menangani khusus Dirjen Otda, ada sesuatu yang salah ini,” kata Diah.
Dana otsus Papua, lanjut dia, seharusnya dapat digunakan dalam mencegah serta menanggulangi berbagai penyakit. Sebab, aliran anggaran pemerintah untuk Papua juga terdiri dari anggaran infrastruktur yang masuk ke dalam dana alokasi khusus (DAK). Sedangkan dana otsus itu terdiri dari penerimaan provinsi dengan persentasi 2% dari total dana alokasi umum (DAU).
“Setiap tahun kami selalu evaluasi dana otsus, dan ini tentu akan melibatkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar mengetahui aliran dana otsus ke mana saja,” terang dia.
Evaluasi itu tak lain diakuinya agar pembangunan fasilitas umum, termasuk bidang kesehatan, itu juga dapat dilakukan merata. Letak demografis Papua terdiri dari pegunungan dan rawa-rawa, diharapkannya sudah tidak menjadi persoalan besar di kemudian hari.
Hal serupa juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Dia malah ingin dana otonomi khusus (otsus) Papua dikaji kembali.
"Kami akan melihat apakah dana otsus itu sudah digunakan sesuai tujuannya atau tidak," kata Puan seusai Rapat Koordinasi Tingkat Menteri di Kementerian PMK, Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (31/1).
Puan mengatakan pemerintah telah menggelontorkan uang yang besar untuk dana otsus, tetapi di Kabupaten Asmat masih terjadi wabah campak dan gizi buruk.
Menurutnya, seharusnya dana tersebut cukup untuk mengelola pelaksanaan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat di sana.
Untuk itu Puan akan meminta Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan mengkaji dana otonomi khusus tersebut. Dia mengatakan Kemendagri dapat memeriksa apakah dana itu telah digunakan sesuai dengan harapan atau belum.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan perlu adanya evaluasi dana otsus Papua. Ia mengatakan pemerintah telah menggelontorkan hingga ratusan triliunan rupiah namun realisasinya masih belum tetap sasaran.
Menurut dia, uang yang telah digelontorkan tersebut harusnya sebanding dengan peningkatan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat di sana.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan dana otsus perlu dievaluasi menyeluruh untuk memastikan penggunaan dana tersebut, apakah untuk mengentaskan kemiskinan dan menurunkan ketimpangan.
Kalla menilai jika penggunaan dana itu tidak tepat sasaran maka perlu ada perbaikan dalam penggunaannya, namun apabila ada indikasi korupsi maka perlu ada tindakan hukum.
Minim Dokter
Menteri Kesehatan Nila Moloek mengatakan minimnya tenaga kerja dokter di Papua dan Papua Barat hingga desa-desa, juga tak lain tak banyak yang mau bertugas di pelosok. S Namun Kemenkes tak dapat berbuat banyak, karena perekrutan menjadi tugas Kemenristekdikti. Setiap tahun, sekisar 10 ribu hingga 12 ribu sarjana kedokteran lulus dari perguruan tinggi, dan penyerapan tenaga dokter yang diketahui Kemenkes tidaklah sampai angka 50% dari jumlah itu.
Menteri Kesehatan Nila Moloek mengatakan minimnya tenaga kerja dokter di Papua dan Papua Barat hingga desa-desa, juga tak lain tak banyak yang mau bertugas di pelosok. S Namun Kemenkes tak dapat berbuat banyak, karena perekrutan menjadi tugas Kemenristekdikti. Setiap tahun, sekisar 10 ribu hingga 12 ribu sarjana kedokteran lulus dari perguruan tinggi, dan penyerapan tenaga dokter yang diketahui Kemenkes tidaklah sampai angka 50% dari jumlah itu.
“Jadi, jangan salahkan Kemenkes kalau dokter-dokter itu tidak mau mendaftarkan diri bertugas di pelosok. Memang, banyak pertimbangan bagi mereka yang mau ditugaskan ke sana. Saya imbau agar setiap tahun ada 2.800 dokter muda tertarik masuk pegawai negeri sipil,” kata dia.
Dari 2.609 rumah sakit terdata Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, keberadaaan jenis tenaga medis di 2.609 rumah sakit Papua itu sebanyak 354.153 orang. Bila dianalisa dengan standar ketenagaan minimal, maka adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan keberadaan. Itu terlihat ada beberapa rumah sakit kelebihan tenaga, dan ada beberapa rumah sakit kekurangan tenaga kesehatan.
“Perbaikan gizi di Papua itu dimulai dari ibu hamil, bukan pada saat anak saat lahir saja. Saya sudah kirim biskuit tinggi gizi 30 Ton. Tapi apa? Itu Cuma sampai di Jayapura. Saya belum terima laporan kalau biskuit itu sudah didistribusikan ke seluruh desa,” terang dia.
Menteri Sosial Idrus Marham mengatakan dalam menangani persoalan kesehatan di seluruh wilayah Papua, ia akan menempatkan satuan tugas (Satgas) selama satu tahun penuh. Ia memastikan tim khusus dari kementeriannya itu tidak akan meninggalkan Tanah Papua demi menangani berbagai persoalan sosial di sana.
Satgas itu, saat ini juga didukung oleh TNI, Polri, dan Kementerian Kesehatan. “Sebenarnya, selama ini kami punya Posko Pemantauan di Papua. Setiap bulan, kami punya laporan data dari sana,” kata Idrus.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sabrar Fadhilah menyatakan kendala Tim Satga Papua saat ini adalah mengenai sulitnya jaringan komunikasi.
“Saya sarankan agar Kemenkominfo perkuat komunikasi di Papua pakai satelit, agar saat daerah yang membutuhkan tenaga medis memberikan informasi, maka kami cepat tanggap untuk langsung menerjunkan petugas medis. Saat ini kendala kami, ya jaringan komunikasi. Susah sekali signal jika di pedalaman,” kata Sabrar.
Jadi, bertahannya masyarakat Papua dengan cara tradisional di tengah kemajuan dunia medis di Indonesia, juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Bilamana mereka tak dapat mendapatkan pelayanan kesehatan medis, otomatis mereka akan menggunakan cara tradisional.
Peran pemerintah daerah setempat dalam pendidikan pun masih rendah. Masih banyak masyarakat Papua belum menikmati pendidikan wajib 9 tahun.
Menkes sempat menyinggung persoalan biaya operasional Tim Satgas. Sebab, Kemenkes telah menyediakan pelayanan flying health menuju lokasi Suku Asmat dan daerah-daerah krisis kesehatan. Ia mengestimasikan biaya operasional helikopter TNI untuk 10 hari penuh, memerlukan biaya Rp10 miliar. Menurut dia, kesadaran pemerintahdaerah memeang sangat diperlukan. (Denisa Tristianty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar